Partai-partai Islam dan berbasis massa Islam dinilai berada dalam momentum tepat untuk meraih tampuk kekuasaan politik di pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif.
Pengamat politik Islam Universitas Indonesia, Dr. Abdul Muta'ali menegaskan, saat ini merupakan momentum yang sangat tepat untuk mengejawantahkan politik Islam yang harmonis dan akomodatif.
"Setelah dunia tidak mendapatkan jawabannya dari politik Islam di Mesir atas kemenangan Partai Ikhwanul Muslimin (IM), saatnya Indonesia menunjukkan politik Islam yang rahmatan lil a'lamin,"
tutur Abdul Muta'ali saat dihubungi Republika, Senin malam (21/4), melalui layanan pesan singkat (sms).
Sejatinya, ujar Abdul Muta'ali, partai-partai politik Islam di Indonesia telah memperoleh suara sangat signifikan dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif pada April 2014 lalu.
Abdul Muta'ali menjelaskan, sudah sepatutnya dan sewajarnya parpol-parpol Islam itu sanggup membangun identitas politiknya dengan cara berkoalisi. Apalagi jika perolehan suara mereka digabung, perolehannya tembus di angka 31%.
Dalam dialog antara Soekarno dan Muhammat Natsir, lanjut Abdul Muta'ali, Soekarno pernah menyatakan:
"Kalian boleh mayoritas dalam jumlah, namun kalian tidak akan pernah sanggup melawanku secara politik di Parlemen".
Seharusnya, jelas Abdul Muta'ali, ucapan Soekarno itu menjadi tantangan yang harus dijawab parpol-parpol Islam saat ini.
"Pemilu legislatif 2014 ini jelas merupakan aspirasi suara 'pulang kampung' untuk Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Joko Widodo. Pasalnya, 'Jokowi Effect' terbukti tidak ngefek," tegas Abdul Muta'ali yang juga Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) UI.
Mengapa hal itu terjadi? Karena pada saat yang bersamaan, terang Abdul Muta'ali, masyarakat Muslim Indonesia sudah mengendus perihal Partai Banteng yang sedang menghipnotis mereka.
Jadi, ujar Abdul Muta'ali, hasil pemilu legislatif 2014 menunjukkan masyarakat muslim Indonesia sudah tidak mau dikibuli lagi setelah kasus Solo dan Jakarta.[rol]
Sumber :