Jakarta (21/01) — Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Abdul Fikri Faqih, mendesak penyelesaian bagi guru honorer sejak era PP 48/2005 hingga sekarang yang masih berlarut-larut.
“Bagaimanapun opsi bagi honorer sudah disepakati bersama oleh pemerintah dan DPR, yakni diangkat PNS, rekrutmen PPPK, atau diangkat pegawai dengan honor sesuai UMP/K” katanya dalam rapat kerja dengan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Selasa (19/01/2022).
“Diantara mereka terdapat guru honorer sebanyak 157 ribu orang dan 86 ribu dosen honorer yang butuh kejelasan status,” kata politisi PKS ini.
Ratusan ribu tenaga honorer tersebut masih terkatung-katung nasibnya sejak PP 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil diterbitkan. Hingga 9 tahun kemudian, tepatnya pada 2014 penyelesaian tenaga honorer masih tersisa 438 ribu orang, tidak terkecuali guru honorer.
“Jeritan para guru honorer sudah hampir tiap saat harus kita dengar di komisi X, bagaimana kita mau melangkah untuk mewujudkan visi Pendidikan Indonesia, bila masalah guru honorer belum selesai juga,” ujarnya.
Dia menceritakan, di tengah gelombang aksi honorer menuntut status yang bertahun-tahun tidak jelas itu, pada 2018 silam, DPR bersama pemerintah sebenarnya telah menyepakati keputusan penting.
Menurut Fikri, sebanyak 438 ribu honorer yang masih tersisa diberi tiga opsi penyelesaian, yakni mengikuti seleksi PNS, rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), atau diangkat pegawai dengan honor sesuai UMP/K.
“Opsi ini tinggal dijalankan dan serius untuk selesai,” tegasnya.
Fikri menilai, bila revisi undang-undang ASN dijadikan alasan untuk menunda penyelesaian guru honorer, maka hal itu ibarat memberi harapan yang tidak jelas.
“Ini soal keseriusan kita dalam menyelesaikan, karena setiap kali penyelesaian honorer, malah timbul masalah baru,” terangnya.
Dia menyinggung soal permasalahan yang timbul dalam rekrutmen PPPK bagi guru honorer digelar. Guru honorer yang telah lama bertugas, kalah bersaing dan gagal lolos seleksi karena harus bersaing dengan guru-guru baru dan lulusan perguruan tinggi yang lebih muda usia dan kemampuan kognitifnya.
“Akibatnya honorer lama tetap tidak terekrut, padahal rekrutmen PPPK seharusnya jadi prioritas untuk menyelesaikan status bagi honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun,” kata dia.
Selain itu yang terbaru, guru-guru dari sekolah swasta yang lolos seleksi PPPK menyebabkan sekolah-sekolah swasta tempat asal mereka mengajar menjadi terancam kekurangan guru.
“Ada sekolah yang dari guru totalnya ada 40 orang, tinggal 15 guru saja,” kisah dia mencontohkan.
Sehingga asosiasi Pendidikan meminta agar guru-guru swasta yang lolos seleksi PPPK dikembalikan ke tempat asal dia mengajar.
Namun hal tersebut bakal melanggar ketentuan perundangan. Pasalnya, UU nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menyebutkan definisi, bahwa PPPK digaji oleh pemerintah dan bekerja pada instansi pemerintahan.
“Walaupun hal itu bisa saja disiasati dengan penerbitan aturan tambahan soal penugasan PPPK pada instansi swasta, nomenklatur itu pernah ada dengan nama guru bantu dan dosen bantu, yakni PNS guru & dosen yang bekerja diperbantukan di instansi swasta,” urai Fikri.
Sumber :