Jakarta (30/3) - Hidayat Nur Wahid menanggapi pernyataan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang menginginkan tidak mencampuradukkan antara politik dan agama. Dalam tanggapannya tersebut, ada lima hal yang disampaikan oleh Hidayat Nur Wahid.
Pertama, Hidayat Nur Wahid mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Barus, Sumatra Utara, untuk meresmikan Barus sebagai titik nol penyebaran agama Islam di Indonesia. Karena dengan itu, presiden Joko Widodo mengoreksi buku-buku sejarah masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-13.
“Terbukti melalui Barus, Islam sudah datang dan dipeluk di Nusantara sejak abad ke VII M, terbukti dengan banyaknya prasasti, dan pemakaman muslim di Barus,” kata Hidayat Nur Wahid, kepada Republika.co.id, Rabu (29/3).
Dikatakan Hidayat, Islam yang menyebar di Nusantara secara damai mulai abad ketujuh M tersebut adalah Islam yang tidak pisahkan agama dan politik. Oleh karena itu, kunjungan presiden ke Barus adalah kunjungan politik yang ada kaitannya dengan agama, dalam hal ini adalah agama Islam. “Aneh kalau kemudian Presiden Jokowi membuat pernyataan yang tak sesuai dengan apa yang baru saja beliau lakukan,” katanya.
Kedua, pernyataan Jokowi yang ingin adanya pemisahan antara agama dan politik dianggap tidak sesuai dengan pidato politik dan rumusan Pancasila yang disampaikan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. “Pada Sidang BPUPKI, yang jelas sekali mencantumkan adanya sila “Ketuhanan”.
Bahkan saat Bung Karno menjadi Ketua Panitia Sembilan yang secara politik kenegarawanan menyepakati Piagam Jakarta 22 Juni 1945, maupun ketika menjadi Ketua PPKI yang menyepakati Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945, yang menjadi sila “Ketuhanan” malah menjadi sila yang pertama,” ujar mantan ketua MPR itu.
Dari hal tersebut, kata dia, dapat disimpulkan bahwa sejak awal pendirian bangsa ini, Soekarno memasukan unsur keagamaan sebagai sila yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, Hidayat mengingatkan bahwa Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pernah mengoreksi pernyataan terbuka Basuki Tjahaja Purnama yang mengatakan memilih gubernur berdasarkan agama itu melawan konstitusi. “Menteri Agama bahkan menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan itu sesuai dengan konstitusi. Karenanya, wajar kalau menjadikan agama sebagai rujukan kehidupan mereka,” katanya.
Keempat, Beberapa bukti menunjukkan tidak ada penyebab perang di dunia ini yang terjadi karena agama. Seperti, penyebab perang dunia pertama dan perang dunia kedua serta perang di antara Amerika dan Irak juga tidak menunjukkan disebabkan oleh agama.
“Dalam konteks pilkada di Indonesia, berbagai gesekan yang terjadi bahkan anarkhi, juga bukan karena masalah agama, tetapi lebih kepada kecurangan yang dibiarkan, dan ketidaknetralan aparat dan penyelenggara pilkada yang hadirkan amarah warga,” ujar politikus PKS tersebut.
Kelima, kekhawatiran presiden dapat dipahami, tapi tidak dengan betul-betul memisahkan agama dari politik maupun sebaliknya. Pasalnya, menurut Hidayat, gesekan-gesekan yang terjadi itu hanyalah asap, dan apinya bukan pada relasi agama dan politik, tetapi pada masifnya kecurangan, intimidasi, ketidaknetralan, dan berbagai pelanggaran hukum dan aturan pilkada.
“Maka kalau serius ingin hilangkan asap, matikanlah apinya, jangan malah apinya dijaga dan dikipasi, karena ha itu justru bisa jadi pemicu asap yang menjadi dampak,” kata Hidayat.
Hidayat Nur Wahid kemudian berpesan, mestinya Presiden Joko Widodo justru mengingatkan rakyat Indonesia untuk tak salahpahami apalagi sampai menistakan agama, karena itu juga dilarang oleh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Presiden juga harus ajak rakyat, dalam kegiatan politik seperti pilkada dan tetap melaksanakan ajaran agama, apaun agamanya. Karena selain bahwa melaksanakan ajarana agama itu dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, juga karena agama memang mengajarkan harmoni dan solusi.
Sumber :