Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menegaskan bahwa ke-Islaman, ke-umatan, tidak terpisahkan dengan ke-Indonesiaan. Ke-Islaman dan ke-umatan dengan ke-Indonesiaan adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
“Jadi saya ingin katakan bahwa kemasjidan, keulamaan, dengan ke-Indonesiaan merupakan satu hal yang melekat,” kata Hidayat dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR kepada 543 pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) dari 65 kelurahan se-Jakarta Selatan, di Aula Rumah Jabatan Anggota DPR, Kalibata, Jakarta, Minggu (18/3/2018).
Hidayat memaparkan peran masjid dan negara atau masjid dengan Indonesia. Dia memberi contoh atau menganalogkan dengan apa yang terjadi di Turki. Beberapa waktu lalu di Turki terjadi kudeta terhadap pemerintahan Erdogan.
Para pelaku kudeta sudah menguasai TV, media, pesawat F-16, dan lainnya. Bagaimana Erdogan bisa selamat dari kudeta itu dan kudeta itu bisa gagal, salah satu di antaranya adalah karena peran masjid.
Pada waktu itu Erdogan memerintahkan agar masjid-masjid mengumandangkan adzan di tengah malam, sekitar jam dua pagi. Mendengar adzan, masyarakat keluar dari rumah masing-masing, kemudian masyarakat berbondong-bondong ke jalan dan menggagalkan kudeta. “Masjid bisa menjadi hal yang efektif untuk menyelamatkan negara dari kemungkinan terjadinya kudeta,” katanya.
Dalam konteks Indonesia dan hubungannya dengan Sosialisasi Empat Pilar MPR, lanjut Hidayat, sesungguhnya ke-Islaman, keumatan, Ormas Islam, partai politik Islam, dengan ke-Indonesiaan adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
“Belakangan ada yang mencoba memisahkan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Pastilah mereka tidak mengakui apa yang Bung Karno katakan sebagai Jasmerah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Tapi saya tambahkan, juga jashijau, jangan sekali-sekali hilangkan jasa ulama dan jasa umat. Karena melalui kegiatan Sosialisasi Empat Pilar ini kita akan tahu persis bahwa para ulama kita baik dari NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, termasuk dari partai-partai Islam (Partai Sarikat Islam, Partai Islam Indonesia), berperan dalam ke-Indonesiaan,” jelasnya.
Hidayat memberi contoh KH Hasyim Asyhari dalam melahirkan Resolusi Jihad. Fatwa jihad ini melahirkan lasykar Fisabilillah, Lasykar Hisbullah, Lasykar Mujahidin. KH Hasyim Asyhari mengumpulkan ulama di Jawa Timur dan Madura, untuk menyikapi penjajah Belanda yang mendompleng sekutu.
“Kalau saja para ulama acuh terhadap Indonesia, kalau saja para ulama tidak mempunyai peran dalam menyelamatkan Indonesia, KH Hasyim Asyhari tidak mungkin mengumpulkan ulama untuk menyampaikan fatwa jihad pada 20 Oktober yang sekarang menjadi Hari Santri,” katanya.
Hidayat menjelaskan fatwa Jihad itu ada tiga poin. Pertama, mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dari kemungkinan dijajah kembali oleh Belanda hukumnya adalah fardhu ain bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya, sedangkan bagi masyarakat di luar itu hukumnya adalah fardhu kifayah.
Kedua, siapa pun yang meninggal atau wafat karena melaksanakan fatwa ini membela Indonesia dari kemungkinan dijajah Belanda, hukumnya adalah sebagai syuhada, mati syahid. Ketiga, siapa pun yang berkhianat dan membantu penjajah asing maka dia boleh dihukum mati.
“Jadi saya ingin katakan bahwa kemasjidan, keulamaan, dengan ke-Indonesiaan merupakan satu hal yang melekat,” ujarnya.
Sumber :