Anggota Komisi IX DPR RI, Ecky Awal Mucharam memberikan lampu merah kepada pemerintah terkait dengan utang BUMN.
“Terlebih dalam kondisi rupiah terpuruk ini keuangan BUMN dalam kondisi yang membahayakan. Utang BUMN nonlembaga keuangan tercatat 59 persen dalam bentuk mata uang asing dan 53 persen dipegang asing. Beban cicilan utang dan bunganya akan sangat membebani perusahaan,” ungkap Ecky, Senin (16/07/2018).
Ecky menjelaskan posisi utang BUMN mengalami lonjakan yang signifikan pada dua tahun terakhir ini. Saat ini, menurut Ecky, utang BUMN nonlembaga keuangan saat ini mencapai US$47,11 miliar dan mengalami lonjakan signifikan sebesar US$7,1.
“Lonjakan utang BUMN disebabkan oleh gencarnya pembangunan infrastruktur yang merupakan penugasan pemerintah. BUMN terpaksa harus menarik utang sebagai dana untuk ‘bisnis’ infrastruktur. Sayangnya, cash flow perusahaan relatif kurang sehat, karena munculnya mismatch antara kebutuhan pembayaran utang kepada kreditur dengan penyerataan modal dari pemerintah kepada BUMN yang bersangkutan,” lanjut Ecky.
Selain itu, menurut Ecky, tak jarang royeksi demand nya terlalu optmistik, seperti PLN yang sekarang mengalami over capacity, atau beberapa ruas tol yang relatif sepi pengguna.
Akibatnya, lanjut Ecky, terjadi lonjakan rasio utang terhadap EBITDA atau pendapatan yang menggambarkan kemampuan sebuah perusahaan dalam membayar utang.asio yang semakin tinggi memberi gambaran bahwa utang tumbuh lebih cepat dibandingkan pendapatan.
Menurut lembaga pemeringkat S&P, dari 20 BUMN yang dianalisis, 16 BUMN memiliki rasio leverage yang terus meingkat, sedangkan rasio kecukupan arus kas melemah,” ujar Ecky.
Aleg asal Kota Bogor dan Cianjur ini menambahkan, melambungnya utang tersebut tidak hanya mempengaruhi keungana perusahaan tetapi juga investor.
“Worst case scenario-nya adalah jika BUMN gagal bayar, maka pilihannya adalah rakyat harus mem-bail out (membayar utang –red) BUMN tersebut atau harus diprivatisasi dengan dijual kepada asing, termasuk melepas kepemilikan asset-asset BUMN yang dijadikan underlying proyek-proyek tersebut. Tentu sebuah bencana besar jika ini terjadi. Dan skenario terburuk ini mungkin terjadi jika pemerintah terus melakukan proyek infrastruktur dengan utang tanpa manajemen risiko yang baik,” tutup Ecky.
Sumber :