Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto. Foto : Azka/Man
|
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta Pemerintah segera menghentikan izin ekspor konsentrat tambang.
Pasalnya, hal itu bertentangan dengan Pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Regulasi itu mengamanatkan setiap perusahaan tambang harus melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri sebelum diekspor.
Pasalnya, hal itu bertentangan dengan Pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Regulasi itu mengamanatkan setiap perusahaan tambang harus melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri sebelum diekspor.
“Hal ini ditetapkan sebagai upaya memberi nilai tambah produk ekspor sekaligus membuka lapangan kerja baru di dalam negeri. Pemerintah harus berani menghentikan ekspor konsentrat tambang.
Sebab semua sudah diatur dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah, termasuk soal jangka waktu kompensasi penerapan kebijakan ini,” tegas Mulyanto dalam siaran persnya kepada Parlementaria, Selasa (17/3/2020).
Politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) ini menilai, selama ini Pemerintah terkesan tidak serius melaksanakan UU tersebut. Bukannya memaksa perusahaan tambang melaksanakan ketentuan, namun malah beberapa kali Pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengizinkan perpanjangan ekspor konsentrat.
Terhadap PT. Freeport Indonesia misalnya, Pemerintah begitu longgar menerapkan larangan ekspor konsentrat.
Terhadap PT. Freeport Indonesia misalnya, Pemerintah begitu longgar menerapkan larangan ekspor konsentrat.
Sejak ada peraturan pelarangan ekspor konsentrat tahun 2014, Pemerintah terbukti beberapa kali memberikan izin. Alasannya proses pembangunan smelter yang belum selesai.
Menurutnya seharusnya Pemerintah mendorong Freeport mempercepat proses pembangunan smelter, bukan malah memperlonggar izin ekspor.
Menurutnya seharusnya Pemerintah mendorong Freeport mempercepat proses pembangunan smelter, bukan malah memperlonggar izin ekspor.
Freeport Indonesia sendiri sudah mengoperasikan fasilitas pemurnian tembaga pertama di Indonesia yang mampu mengolah 300 ribu ton/tahun atau sebesar 40 persen dari total produksi konsentrat tembaga.
Sementara sebanyak 60 persen lainnya diekspor dalam kondisi mentah. Sementara pembangunan smelter baru untuk mengolah sisa konsentrat tembaga yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah tersebut baru terealisasi sebesar 4,8 persen.
Sementara sebanyak 60 persen lainnya diekspor dalam kondisi mentah. Sementara pembangunan smelter baru untuk mengolah sisa konsentrat tembaga yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah tersebut baru terealisasi sebesar 4,8 persen.
Dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI beberapa waktu yang lalu, Freeport menargetkan pembangunan smelter baru akan selesai tahun 2023. Waktu yang sangat lama menurut Mulyanto.
Sebab jika dihitung sejak adanya ketentuan pelarangan ekspor tembaga mentah tahun 2014, harusnya di tahun 2020 atau 6 tahun setelah kebijakan tersebut ditetapkan, semua pabrik pengolahan konsentrat sudah siap.
Untuk itu Pemerintah harus mengawal kesiapan perusahaan membangun smelter. Jika perlu dibuat satgas khusus untuk mengawasi pembangunan smelter agar target waktu pembangunan sesuai dengan rencana. (ayu/sf)
Sebab jika dihitung sejak adanya ketentuan pelarangan ekspor tembaga mentah tahun 2014, harusnya di tahun 2020 atau 6 tahun setelah kebijakan tersebut ditetapkan, semua pabrik pengolahan konsentrat sudah siap.
Untuk itu Pemerintah harus mengawal kesiapan perusahaan membangun smelter. Jika perlu dibuat satgas khusus untuk mengawasi pembangunan smelter agar target waktu pembangunan sesuai dengan rencana. (ayu/sf)
Sumber :