Surakarta (18/10) — Menjalani masa reses Reses, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Abdul Kharis Almasyhari menghadiri Bedah Buku Sarekat Islam Surakarta Tahun 1912-1923 yang berlangsung di Omah Parang Kesit, Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan pada Sabtu (16/10/2021).
Kegiatan yang diprakarsai oleh Museum Samanhudi ini merupakan kegiatan rutin bulanan. Akan tetapi bertepatan dengan Milad ke 116 Sarekat Islam yang jatuh setiap tanggal 16 Oktober, maka diadakan Bedah Buku ‘Sarekat Islam Surakarta Tahun 1912-1923’.
Bedah buku ini menghadirkan narasumber Adityawan Suharto (Penulis Buku) dan MS Ka’ban (Pemerhati Pergerakan Islam) dan dihadiri oleh sekitar 70 orang peserta.
Tampak hadir dalam bedah buku ini Bambang Sutrisno (Anggota DPD RI), Perwakilan dari Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan Kota Surakarta, Pengurus Museum-Museum se Surakarta dan Perwakilan keluarga H. Samanhudi. Tampak hadir pula mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang memiliki perhatian mempelajari Sejarah Bangsa.
Berperan sebagai Keynote Speaker, Abdul Kharis menyampaikan sangat mengapresiasi sekaligus bangga dengan bedah buku ini.
Mengapresiasi karena dengan keterbatasan yang ada, apalagi dimasa pandemi panitia bersemangat untuk menyelenggarakan bedah buku ini. Bangga karena buku ini ditulis oleh anak muda dengan sudut pandang yang berbeda.
“Mas Adityawan seorang yang masih muda tapi memiliki karya unik, yaitu memandang Sarikat Islam dalam kaca mata lokal yaitu Surakarta” Ungkapnya.
“Membaca buku ini, saya merasakan menjadi bagian dari perjuangan Samanhudi dimasa itu” lanjutnya.
Apalagi, imbuhnya, Ketika Abdul Kharis jalan kaki keliling menyelusuri Kampung Laweyan, terbayang betapa sulitnya Samanhudi mengajak masyarakat untuk berjuang dan bergerak. Hanya orang-orang yg berjiwa pemberani dan tahan banting saja yang mau bergabung bersama Samanhudi.
“Buku ini memberikan gambaran semangat Samanhudi di jaman itu. Dan saat ini Samanhudi era tahun 2020 an harus bisa mengambil hikmah dan meneladani semangat Samanhudi. Selamat menikmati bedah buku ini, karena buku adalah jendela dunia” pungkasnya.
Dalam sambutannya ketua panitia, Chairul Syarwani, mengatakan “Kenapa saya diminta menjadi ketua panitia? Karena saya ketua RT dimana beliau H. Samanhudi dahulu tinggal di RT saya. Walau sekarang sebagian besar peninggalan beliau sudah dimiliki orang lain”.
Chairul juga menyampaikan bahwa Museum Samanhudi merupakan salah satu dari sedikit museum yg dimiliki oleh warga.
“Kami senang banyak generasi muda yang hadir dalam bedah buku ini, karena kami berharap museum mampu menjadi tonggak menanamkan semangat perjuangan”, paparnya.
Sementara itu, Adityawan sebagai penulis buku lebih menyoroti latar belakang, kronologis, gambaran suasana dan hal-hal yang tidak banyak diketahui orang. Bahkan banyak menyebut tokoh-tokoh lokal yang membersamai perjuangan Samanhudi seperti H. Bakri dan Marto Harsono.
Mengawali paparannya, Ka’ban menyampaikan bahwa sejarah itu pencerdasan.
“Membaca sejarah menimbulkan pencerdasan berpikir. Sarekat Islam merupakan even sejarah kebangkitan perjuangan melawan Penjajahan. Mengisi babak baru perjuangan melawan penjajah, karena setelah perjuangan Pangeran Diponegoro tahun 1825 nyaris tidak ada gerakan.
Dan terbukti banyak tokoh Sarekat Islam menjadi pahlawan nasional. Mereka memiliki saham untuk Indonesia merdeka” papar Ka’ban.
Lebih lanjut dipaparkan bahwa Ruh Sarekat Islam Samanhudi adalah membangun ekonomi kaum pribumi. Sehingga diawal berdirinya menghindari konfrontasi dengan pemerintah Hindia Belanda. Karena sifat perjuangannya membangun ekonomi, maka dapat berkembang dan terus menjadi gerakan penyadaran.
“Sebuah peristiwa sederhana tetapi melahirkan sesuatu yang besar”, ungkap Ka’ban.
Diakhir paparannya Ka’ban menyampaikan untuk terus mempelajari sejarah kehidupan tokoh-tokoh perjuangan, jangan sampai menjadi ironi, dicantumkan sebagai Pahlawan Nasional tetapi peninggalan nya tidak bisa dirasakan.
Sumber :