Jakarta (25/02) — Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, membeberkan tiga catatan kritis terhadap regulasi pengaturan pengeras suara di masjid dan mushalla yang dirilis Kementerian Agama melalui produk Surat Edaran Menteri Agama No.5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid/Musala.
Pertama, kata Bukhori, dari sisi regulasi, surat edaran bukanlah produk peraturan perundang-undangan, melainkan kebijakan yang mengatur urusan internal kelembagaan.
Walau demikian, imbuhnya, surat edaran tersebut anehnya tidak hanya dialamatkan kepada instansi vertikal atau satuan kerja di bawah Kementerian Agama, tetapi juga ditujukan kepada MUI, DMI, Ormas Islam, serta pengurus masjid dan musala yang secara kedudukan merupakan entitas di luar Kementerian Agama.
“Pertanyaannya adalah apakah surat edaran tersebut memiliki kekuatan mengikat sampai ke entitas di luar Kementerian Agama?. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, produk berupa surat edaran tidak ditemukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Sebab, surat edaran adalah penjelasan suatu kebijakan.
Bahkan salah satu pakar hukum tata negara menyebut, surat edaran bukanlah produk peraturan perundang-undangan, tetapi dipaksa untuk mengikat.
Sehingga, dalam konteks aturan mengenai pengeras suara di masjid/musala, surat edaran ini janggal karena mencoba mengatur masyarakat yang secara kedudukan berada di luar instansi Kementerian Agama,” jelasnya dalam acara gelar wicara di salah satu TV Nasional, Kamis (24/02/2022).
Anggota Badan Legislasi ini mengatakan, pihaknya menghargai niat baik Kementerian Agama untuk mewujudkan harmoni sosial melalui surat edaran tersebut. Namun, menurutnya, tidak semua isu dapat diselesaikan melalui pendekatan instruksi oleh Negara.
“Kedua, secara substansi terdapat kelemahan dalam beberapa poin, misalnya persyaratan bagi pengguna pengeras suara mesti bersuara bagus dan tidak sumbang,” sebut Bukhori.
Poin ini, kata Bukhori, sebenarnya sangat bersifat subjektif karena tidak ada pihak yang berhak menentukan suara bagus atau tidak bagus dalam konteks ini.
“Lantas, bagaimana jika poin ini justru memicu gesekan sosial karena membuka potensi bagi setiap warga untuk saling menghakimi sehingga berujung pada disharmoni? Sebaliknya, aturan ini justru akan kontraproduktif dengan niat baik Menteri Agama di awal,” tuturnya.
Legislator Dapil Jawa Tengah 1 ini melanjutkan, catatan kritis selanjutnya adalah poin tentang penentuan batas waktu penggunaan pengeras suara sebelum azan dikumandangkan dengan rentang 5-10 menit.
Bukhori lantas mempertanyakan dasar yang digunakan oleh Kementerian Agama dalam menentukan batas waktu tersebut.
“Selain masalah suara adalah batas waktu. Atas dasar apa Kementerian Agama menentukan rentang waktu 5-10 menit sebelum azan? Kenapa tidak 1-3 menit? Apakah sudah ada riset atau kajian sebelumnya? Sebab saya ragu akan hal tersebut,” ucapnya.
Ketiga, lanjut Bukhori, poin pengawasan pada nomor 5 dalam surat edaran. Diksi pengawasan dinilai menimbulkan kesan represi bagi masyarakat, khususnya pengurus masjid.Padahal, surat edaran semestinya bernuansa edukasi dan bahasa yang digunakan bersifat normatif, edukatif, dan tidak limitatif sehingga menimbulkan tafsir liar.
“Konten yang diatur dalam surat edaran ini terlalu dalam sehingga melampaui kewenangan. Sebab, urusan masjid adalah kewenangan masyarakat, bukan Kementerian Agama. Maka, alangkah baiknya bila penyelesaiannya isu soal toa masjid/musala dilakukan dengan pendekatan edukasi seperti melalui ceramah dan pendidikan, bukan lewat pendekatan instruksi sehingga memunculkan kesan represi atau pemaksaan,” sambungnya.
Ketua DPP PKS ini menambahkan, tugas Kementerian Agama adalah memastikan keharmonisan terpelihara.
“Namun, jika instansi ini mulai bertindak terlalu jauh dengan mengatur hal-hal teknis soal peribadatan, selain melampaui kewenangannya, sebaliknya hal itu dapat memicu disharmoni di tengah masyarakat,” pungkasnya.
Sumber :