Oleh: Muhammad Zulkifli
Saya mengenal PKS sejak 1999. Waktu itu ada orang baik yang memperkenalkannya ke saya. Ia mengatakan, yuk pilih-pilih PK (nama saat itu) karena memiliki banyak kebaikan, salah satunya kalau kampanye selalu pakai helm dan tidak pernah ngegas-ngegas motor di jalan.
Akhirnya saya mencoblos PK pada pemilu 1999, berlanjut mulai ikut pelatihan dasar kepartaian di Bandung tahun 2003, mulai ikut UPA (jaman dulu namanya masih liqo), dan nyoblos lagi tahun 2004 yang namanya sudah berubah jadi PKS. Lompatan suara dari 1 persen hingga 7 persen di 2004 berhasil menempatkan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid sebagai Ketua MPR 2004-2009.
Ketika para haters mulai melihat PKS sebagai ancaman atas status quo, mulailah kampanye-kampanye hitam mengiringi setiap pilkada yang diikuti PKS. Tahun 2007, saat menetap di Jakarta, saya turut mengkampanyekan Adang Daradjatun – Dani Anwar sebagai pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta 2007-2012.
Banyaknya poster-poster anti PKS tertempel di berbagai titik di Jakarta. Yang paling mencolok adalah gambar pejuang Afghanistan dengan tulisan (kurang lebih) seperti ini: Jangan sampai Jakarta dipimpin Taliban.
Usai PKS diidentikan dengan Taliban, tahun 2013 PKS pun mulai diidentikkan dengan korupsi sapi karena hebohnya kasus mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq (LHI). Haters berpesta pora melihat LHI ditangkap.
Framing media saat itu menggambarkan LHI terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) dari KPK saat sedang menerima uang 1 miliar dan bersama seorang wanita. Faktanya, LHI tidak tertangkap tangan, tapi KPK nya yang datang sendiri ke kantor PKS saat LHI sedang memimpin rapat.
Festivalisasi kasus ini berpengaruh terhadap elektabilitas PKS di tahun 2014. Bahkan saat saya masih mengkampanyekan PKS di media sosial, beberapa teman dan saudara heran, kenapa saya mengajak orang untuk nyoblos PKS yang jelas-jelas (dalam anggapan mereka) melakukan tindak pidana korupsi (catatan tambahan: sampai saat ini LHI tidak terbukti secara fisik menerima uang suap).
Ketika ditanya tentang apa alasan masih tetap setia dengan PKS, dan tidak mencoba memilih partai Islam lainnya, saya sulit untuk menjawab karena banyak sekali alasan untuk tetap berada di sini. Tapi saya tidak akan memilih PKS lagi kalau salah satu dari tiga kondisi ini terpenuhi.
1. Kalau PKS Jadi Partai Juara Korupsi
Pertama, kalau PKS berhasil menjadi juara pertama sebagai partai paling korup di Indonesia, maka saya akan keluar dari PKS. Okelah, kalau syarat itu agak sulit, cukup tiga besar saja. Kalau misal PKS masuk dalam jajaran tiga besar partai paling korup, maka sudah cukup menjadi syarat untuk say goodbye buat partai ini.
2. Jika Kader dan Aleg PKS Hanya Turun ke Masyarakat Hanya Jelang Pemilu
Syarat kedua, kalau kader atau anggota legislatif dari PKS hanya terjun ke masyarakat menjelang pemilu atau pilkada saja. Ini sudah cukup jadi alasan yang sangat kuat buat saya untuk tidak membersamai PKS lagi.
Sayangnya, syarat ini pun sulit terpenuhi. Pengalaman pribadi waktu tinggal di Karawang tahun 2009, PKS tidak menang. Namun saat banjir terjadi tahun 2010, struktur DPD memobilisasi kader dan simpatisan untuk membantu masyarakat yang kebanjiran, termasuk bikin dapur umum.
Teringat ketua DPC yang baru dilantik beberapa minggu sebelumnya langsung memimpin rapat saat dia pulang kerja sebagai buruh pabrik.
3. Jika Perjuangan PKS Tak Lagi Selaras dengan Janji Kemerdekaan RI
Jika ternyata kader-kadernya masih juga terjun ke masyarakat, baik di daerah yang PKS menang maupun kalah, masih ada syarat lain untuk meninggalkan PKS: kalau perjuangan PKS tidak lagi selaras dengan janji kemerdekaan Indonesia.
Wah, ini agak sedikit berat pembahasannya. Tapi mari kita kulik. Apa janji kemerdekaan Indonesia? Ada di Pembukaan UUD 1945: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Dalam memajukan kesejahteraan umum, PKS berjuang untuk membatalkan Omnibus Law yang merugikan kaum buruh, dan baru-baru ini juga berjuang untuk menunda legalisasi UU Kesehatan yang merugikan tenaga medis Indonesia khususnya hilangnya mandatory spending untuk sektor kesehatan.
Tentang mencerdaskan kehidupan bangsa, PKS mendesak pemerintah untuk melakukan pemerataan pendidikan dari sisi kualitas guru, kurikulum, infrastruktur fisik dan digital, mencegah diskriminasi pendidikan melalui evaluasi UKT (Uang Kuliah Tunggal), memperjuangkan kesejahteraan guru dan dosen mulai dari status kepegawaian, gaji dan jaminan sosial, menyeimbangkan anggaran PTN dan PTS di mana 90 persen perguruan tinggi adalah swasta, dan sebagainya.
Untuk hal melaksanakan ketertiban dunia, sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. PKS konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina sejak lama, aktif mendorong pemerintah dan masyarakat dunia membantu menyelesaikan masalah di Afghanistan dengan pendekatan yang disebut sebagai Afghan-Led dan Afghan-Owned, termasuk juga mendorong penyelesaian konflik Arab-Saudi – Qatar.
Jadi, kalau mau membuat kader dan simpatisan PKS mencabut dukungannya di pemilu 2024 nanti, cukup usahakan salah satu dari tiga syarat ini terpenuhi. Tidak perlu semuanya.
Apakah PKS tidak punya kekurangan? Banyak. Karena PKS bukan partai malaikat, melainkan partai manusia. Tapi sejauh kekurangan itu adalah urusan pribadi, biarlah masing-masing bertanggung-jawab langsung kepada Allah. Asalkan, mereka terus konsisten berjuang untuk masyarakat Indonesia.
Sumber :