Pada hakikatnya Indonesia saat ini, sekali lagi ‘saat ini’, belum layak untuk menyibukkan diri dengan rutinitas demokrasi yang serba merepotkan, menguras energi dan mengoyak anggaran, serta membuyarkan konsentrasi sosial pada masalah-masalah yang lebih penting. Demokrasi idealnya memberi kepraktisan tanpa harus memasung hak-hak dasar politik kita seperti hak mengemukakan pendapat, hak berkumpul, hak berserikat, hak memilih dan hak untuk dipilih.
Jika anda benar-benar ngotot mau memilih langsung kepala daerah anda sendiri, yaa…anda harus berusaha untuk jadi anggota DPRD, Anda kan punya hak politik untuk dipilih. Bila anda terpilih jadi anggota DPRD maka itu berarti rakyat percaya pada kualitas suara anda dan anda memang layak menjadi wakil masyarakat untuk menentukan pemimpin mereka. Tidak mungkin rakyat akan mempercayakan dan menitipkan hak suara mereka pada seorang penjahat. Rakyat juga percaya kepada anda karena kualitas suara Anda berbeda dengan suara seorang pemabuk atau seorang penjudi. Apa gunanya lembaga perwakilan jika kewenangan politiknya untuk memilih kepala daerah dikembalikan kepada muwakkil atau yang mewakilkan? Di mana kewibawaan fungsi kontrol DPRD bila seorang kepala daerah ditentukan melalui mekanisme pemilukada langsung? Secara teknis ini namanya over-lapping antara kewenangan konstitusional dan penerapan pada tataran teknis.
Inilah 10 alasan mengapa kepala daerah harus dipilih DPRD:
1. Pemilukada langsung sangat boros, sebaliknya melalui DPRD lebih hemat. Jika dihitung maka penghematannya bisa mencapai lebih dari 20 trilyun untuk 33 provinsi dan 492 kabupaten/kota. Dana sebesar ini cukup lumayan untuk membangun 400.000 rumah layak huni atau untuk biaya bedah rumah sebanyak 1 juta rumah orang miskin.
2. Modal kontestasi politik dalam pemilukada langsung sangat besar baik oleh partai maupun perorangan sehingga menuntut ‘kick back money’ (pengembalian modal) lewat cara-cara koruptif. Menurut Guru Besar Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Mudrajad Kuncoro bahwa untuk tingkat kabupaten seorang calon menghabiskan dana sekitar Rp 5 miliar, calon gubernur lebih dari Rp 20 miliar. Setiap daerah pastinya lebih dari satu calon.
3. Kepala daerah hasil pemilukada tidak menjamin bebas dari jerat KPK, bahkan lebih parah. Buktinya sudah ratusan kepala daerah hasil pemilihan langsung yang divonis bersalah di pengadilan Tipikor. Saat ini saja berdasarkan data di Kemendagri menunjukkan bahwa kepala daerah yang terlibat korupsi sudah mencapai 291 kepala daerah. Jumlah itu terdiri dari gubernur sebanyak 21 orang, wakil gubernur tujuh orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, walikota 41 orang, dan wakil walikota 20 orang.
4. Peringkat IPM Indonesia masih rendah, yaitu urutan 121 dari 187 negara. Artinya Rakyat Indonesia belum secerdas negara-negara maju dalam mengkontribusikan hak-hak politiknya.
5. Terdapat 3 target pencapaian MDG’s yang masih begitu sulit dipenuhi oleh Indonesia dan ketiga target ini berkaitan erat dengan hak hidup, hak kesehatan dan hak kebutuhan dasar. Jadi, tidak layak bagi siapa pun melibatkan rakyat negeri ini dengan urusan-urusan kepentingan politik pragmatis sebelum hak-hak dasar itu terpenuhi.
6. Potensi disharmoni sosial lebih rawan terjadi bila gesekan-gesekan politik bergeser hingga ke akar rumput. Kecurangan massif, sistematis dan terstruktur juga sangat potensial terjadi di daerah-daerah pelosok. Hal ini menimbulkan kerawanan sosial yang berujung pada instabilitas sosial, politik bahkan ekonomi. Contohnya di Maluku Utara. Jadi sebaiknya pemilukada di DPRD saja.
7. Anggota DPRD lebih percaya diri melakukan fungsi kontrolnya bila pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
8. Pemilukada langsung melahirkan trend lembaga survey komersil. Komersialisasi hasil survey bisa mengarah pada persaingan tidak sehat dan mengancam kejujuran ilmiah.
9. Bila tempat-tempat ibadah sudah penuh oleh orang yang ingin beribadah, maka walaupun setiap hari masyarakat memenuhi TPS pasti tidak masalah, karena kita yakin hasil di TPS pasti berkah.
10. Pemilihan kepala daerah oleh Wakiil atau anggota DPRD sejalan dengan prinsip-prinsip dalam sistem Syuro’.
11. Pemilukada langsung telah menyerat para aparatur hukum ke wilayah politik hingga terjabak pada kasus-kasus korupsi politik.
12. Pemilukada melalui DPRD akan mendorong fungsi dan peran partai politik dalam melakukan kaderisasi kepemimpinan. Bukan kaderisasi instant ‘pengusaha’ atau ‘artis’ menjadi ‘politisi dadakan’.
13. Pemilukada langsung telah melahirkan banyak raja-raja kecil di daerah yang begitu sulit terkontrol oleh kekuasaan di tingkat pusat. Nah, arogansi politik para ‘raja kecil’ ini bisa diredam dengan mengembalikan kewenangan memilih kepala daerah ke DPRD. Sehingga kekuasaan di tingkat pusat memiliki bargaining politik yang lebih efektif melalui kekuatan legislative.
Bila indikator HDI Indonesia telah setara dengan Singapura atau negara-negara maju lainnya maka saat itulah Rakyat Indonesia layak untuk menyibukkan dirinya dengan Hiruk Pikuk politik negeri ini.
Sumber :
===============================================================================
Pilkada Langsung di Inggris?
Oleh Ganjar Widhiyoga*
Saat tanah air heboh karena sistem pilkada berubah jadi pilkada melalui DPRD, saya jadi tergelitik untuk membandingkan dengan sistem pemerintahan daerah di Inggris [1]. Ada 326 distrik di Inggris namun ternyata, hanya 16 distrik yang menerapkan pilkada langsung!
Distrik di Inggris memiliki status yang berbeda-beda sesuai dengan jumlah penduduknya. Distrik yang padat penduduknya biasanya dikategorikan sebagai metropolitan district. Distrik yang tidak terlalu padat dikategorikan sebagai non-metropolitan district. Ada non-metropolitan district yang dua jenjang (semacam DPRD tingkat I dan II) ada yang hanya satu jenjang, disebut unitary authorities. Selain distrik-distrik tersebut, masih ada 52 London borough yang membentuk Kota London. Nah, Kota London ini di Indonesia punya padanan yakni DKI Jakarta.
Meski berbeda-beda bentuk dan nama, semua distrik di Inggris awalnya tidak menggunakan pilkada langsung. Penduduk memilih anggota dewan (disebut councillors) dan para anggota dewan tersebut membentuk city council [2]. Kepala daerahnya adalah salah seorang councillor, dipilih oleh para anggota dewan tersebut sendiri. Jadi, dari councillor, oleh councillors tapi untuk rakyat sedistrik. Sistem ini kemudian dikenal sebagai sistem leader-cabinet.
Pilkada langsung pertama di UK dilaksanakan pada tahun 2000 untuk memilih Mayor of London (setara dengan Gubernur DKI). Bersama dengan pilkada ini, ada pemilihan umum untuk London Assembly (setara dengan DPRD DKI). Sejak saat itu, posisi Mayor of London ditentukan dengan pemilihan langsung bersamaan dengan pemilu untuk memilih anggota London Assembly.
Bersamaan dengan pemilihan Mayor of London, pemerintah UK mengeluarkan Local Government Act 2000 yang mengatur bentuk pemerintahan daerah di Inggris. Berdasarkan aturan ini, ada tiga bentuk pemda yang berlaku di Inggris: 1) leader-cabinet melalui pilkada tidak langsung, 2) mayor-cabinet melalui pilkada langsung, 3) mayor-council manager melalui pilkada langsung. Semua pemda di Inggris dapat meniru bentuk pilkada langsung seperti di London atau mempertahankan bentuk pilkada melalui councillors yang selama ini berlaku. Masyarakat dapat berkontribusi dalam proses perubahan ini melalui petisi. Jika 5% penduduk menandatangani petisi untuk melaksanakan pilkada langsung, maka pemda akan menggelar referendum. Jika hasil referendum sepakat dengan pelaksanaan pilkada, maka pemerintah daerah tersebut mengubah bentuknya dari “leader-cabinet” ke “mayor-cabinet”.
Sampai Januari 2011, hanya ada 40 referendum dan sebanyak 27 menolak mengubah bentuk ke pilkada langsung. Ada 13 pemda yang kemudian melaksanakan pilkada langsung. Di tahun 2012, dilaksanakan serangkaian referendum di 12 kota terbesar di Inggris. Ternyata hanya dua kota yang sepakat untuk melaksanakan pilkada langsung. Jadi, hingga saat ini, dari 326 distrik di Inggris, hanya 16 distrik yang melaksanakan pilkada langsung. Sebanyak 310 distrik lainnya mempertahankan bentuk pilkada melalui councillors [3].
Kenapa masyarakat di Inggris sebagian besar menolak proses pilkada langsung? Menurut Mike Barnes, proses pilkada langsung memakan uang yang sangat besar, baik uang pemda (yang digunakan untuk melaksanakan pilkada maupun untuk menggaji Mayor dan timnya) maupun uang kampanye. Alhasil, yang dapat memenangkan pilkada hanyalah mereka yang bermodal besar. Sistem councillor, di sisi lain, menekankan pada hubungan kedekatan dan rekam jejak councillors yang sudah dikenal oleh warga.
Argumen ini mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia, saat pilkada menghabiskan anggaran pemda. Mengutip Fitra, “Biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun.” Ini tentu belum termasuk biaya kampanye dan politik uang (jika ada).
Meskipun demikian, ada kekhawatiran dari sebagian warga negara Indonesia bahwa pilkada melalui DPRD mencabut hak politik mereka. Menurut saya, ini kekhawatiran yang bersumber dari ketidakpercayaan kelompok tadi pada anggota DPRD. Tentu ini harus dipikirkan matang-matang oleh anggota DPRD dan partai politik. Menjadi tugas mereka untuk meyakinkan konstituen bahwa pilkada melalui DPRD tidak menjadi sarana abuse of power baru. Tugas kita sebagai masyarakat adalah terus mengawal proses pemerintahan dan memperbaikinya, termasuk dengan memilih anggota DPRD yang cakap dan dapat kita percayai di 2019 mendatang. Karena itu, saya sampai sekarang selalu menganjurkan untuk tidak golput!
___
[1] Inggris, bukan UK karena Scotland, Wales dan Irlandia utara yang menjadi bagian UK punya aturan yang cukup berbeda dengan Inggris/England.
[2] City council di Inggris merupakan lembaga legislatif sekaligus eksekutif. Kalau mengumpamakan dengan kondisi di Indonesia, ini seperti DPRD memilih Walikota/Bupati dari anggota DPRD sendiri, kemudian Walikota/Bupati tersebut membentuk kabinet berisi para Kepala Dinas dari anggota DPRD yang lain.
[3] Hartlepool dan Stoke-on-Trent pada tahun 2002 memilih menggunakan pilkada langsung namun masyarakat kemudian mengajukan petisi agar kedua distrik tersebut kembali ke sistem pilkada melalui councillors.
*Ganjar Widhiyoga, saat ini sedang menempuh studi doktoral di School of Government and International Affairs, Durham University, United Kingdom. Pada tahun 2012-2013, menempuh studi di School of Geography, Politics and Sociology, Newcastle University dan berhasil mendapatkan Postgraduate Certificate in Research Training.