Sering kita mendengar ada oknum Anggota Dewan meminta jatah dana aspirasi yang berhasil digolkan dengan perantara dia.
Dengan alasan bukan untuk kepentingan pribadi dan macam-macam alasan lainnya, setengah memaksa untuk meminta bagian dari penyaluran dana aspirasi tersebut.
Kemudian karena si penerima merasa berhutang budi, maka harus ada balas jasa, sehingga terjadilah transaksi sunat menyunat yang dilakukan atas dasar suka sama suka.
Begitu juga dalam birokrasi ketika ada eksekusi berbagai proyek pembangun fisik atau non fisik, seringkali dijumpai pemotongan siluman. Artinya pihak si penerima tidak utuh menerima uang yang seharusnya diterima, sementara harus mau menandatangani kwitansi sejumlah uang yang tidak sama dengan yang diterima. Hal seperti ini sudah menjadi menjadi budaya, berurat berakar, mendarah daging dan bertulang sumsum di tengah-tengah masyarakat kita.
Ketika kita hanya berhadapan dengan sistem yang rusak, maka reformasi yang dibutuhkan tidak perlu waktu lama. Lima tahun mungkin bisa selesai. Tetapi ketika kita berhadapan dengan budaya yang rusak maka dibutuhkan waktu yang cukup panjang. Akan sangat berbeda pendekatan kultural dengan pendekatan stuktural, atau perbaikan sistem akan sangat berbeda dengan perbaikan budaya, dalam hal pendekatannya.
Ada paradigma baru yang harus dibangun, serta perlu memaknai ulang apa itu birokrasi, pemerintah, wakil rakyat, hak rakyat, pelayanan, serta istilah politik lainnya agar semua masyarakat tersadar. Karena kalau budaya rusak maka berbagai transaksi dan eksekusi yang salah, akan menjadi simbiosis mutualisme, akhirnya sama-sama rela. Maka munculah istilah “Korupsi Berjamaah”.
Ada paradigma yang harus diubah.
Pertama, bahwa pejabat itu penguasa, sehingga berbagai penyaluran itu dianggap seperti pemberian, akhirnya si pejabat itu merasa berjasa dan yang menerima merasa berhutang budi. Padahal seharusnya pejabat itu pelayan, dia digaji itu untuk melayani, jadi tidak perlu lagi untuk membebani masyarakat dengan berbagai potongan yang memang berhak mendapat pelayanan, dengan alasan dan tujuan apapun.
Kedua, karena merasa penguasa, maka uang negara seperti milik pribadinya, sepertinya lupa bahwa itu adalah uang rakyat hasil dari pengumpulan pajak, hasil kekayaan bumi yang menjadi hak rakyat. Karena merasa seperti memiliki harta, maka ketika menyalurkan merasa sangat berjasa, dan memaksa si penerima harus berterima kasih dan berhutang budi, sehingga seperti harus ada imbal baliknya atau balas jasa. Padahal harusnya di balik, birokrat itulah yang membutuhkan rekanan kerja untuk menyalurkan kewajiban-kewajiban negara terhadap masyarakatnya.
Ketiga, uang yang dihasilkan dari sunat menyunat tadi ada sebagian digunakan bukan untuk pribadi, sehingga merasa berjasa lagi untuk kedua kalinya. Padahal itu menjadi dobel kesalahannya. Pengertian korupsi adalah “Setiap orang yang melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Menguntungkan diri sendiri atau orang lain itu tidak merubah status haramnya. Jadi harusnya bukan merasa dua kali berjasa tetapi dua kali berdosa. Logikanya memotong untuk diri sendiri aja tidak boleh apalagi diberikan ke pihak lain semakin nambah lagi dosanya.
Keempat, ternyata uang yang dibagi-bagi dari hasil sunat menyunat itu biasanya dibagikannya terbatas kepada kroni-kroninya saja, untuk memperkuat kedudukan posisinya, menggerakkan orang-orang di sekitar untuk membantu urusannya, melanggengkan kekuasaannya, jabatannya atau mengganti label yang tadinya haram menjadi halal dengan alasan karena bukan kepentingan pribadi. Setidaknya ingin dapat gelar Robinhood lah, sehingga jargon-jargon untuk kepentingan rakyat hanya hiasan bibir saja, lebih kasar lagi disebut tipuan belaka.
Kelima, khusus untuk anggota dewan ada satu fungsi yang jarang diungkit-ungkit, yaitu fungsi representasi atau sebagai aspirator. Selama ini yang terbangun hanya fungsi Legislasi, fungsi Kontrol, dan fungsi Budgeting saja. Sehingga merasa tidak ada beban dan kewajiban menyalurkan aspirasi masyarakat konstituennya. Padahal anggota dewan digaji untuk fungsi pertamanya adalah Respresentasi, artinya diminta atau tidak seorang dewan harus aktif mendengar, menerima, menampung serta menyalurkan aspirasi konstituennya. Sehinngga tidak perlu ada lagi yang merasa berjasa ketika pekerjaan itu dilaksanakan, karena sudah digaji sebagi aspirator masyarakat. Berpikir sebagai aspirator dan mediator sangat berbeda dengan berpikir sebagai calo atau broker. Berpikir seorang aspirator adalah menolong masyarakat karena sudah digaji untuk itu. Sementara berpikir seorang calo atau broker adalah hitung-hitungan prosentase.
Seharusnya seorang dewan ketika berhasil menggolkan dana aspirasi merasa bersyukur bahwa tugasnya sebagai aspirator dan mediator berhasil, sehingga tidak lagi berpikir sebagai calo atau broker yang kerjanya hitung menghitung prosentase, naudzubillah. Anggota dewanlah yang seharusnya berterima kasih kepada konstituennya, yang telah menjadi mitra kerjanya dalam merumuskan aspirasi masyarakat.
Jadi seharusnya tidak kepikiran untuk sunat menyunat atau potong memotong dengan alasan apapun dan tujuan apapun.
Keenam, Seorang anggota dewan terpilih bukan karena kehebatannya, tapi karena suara yang mencukupi dari konstituennya, bahkan ada yang tidak mencukupi tapi terbantu oleh suara rekannya yang satu partai.
Siapa yang tidak mengakui kehebatan Sri Bintang Pamungkas, deklarator partai PUDI ketika awal reformasi, ketika orang lain masih tiarap, takut dengan rezim yang ada pada saat itu. Tapi karena suara yang tidak tercukupi maka tidak bisa dapat tiket ke senayan.
Siapa yang tidak kenal Didik J Rahbini kehebatannya tidak diragukan, tetapi suaranya tidak mencukupi ketika Pemilu 2004, akhir gagal dapat tiket ke senayan. Seorang anggota dewan sepantasnya berpikir bahwa dia bisa dapat tiket kursi karena ada masyarakat yang turut kampanye, naik truk berdesakkan, kepanasan, keringatan bahkan ada yang jatuh dari truk sampai meninggal dunia.
Ada juga saksi yang seharian bahkan lebih dari sehari yang hanya diberi uang transportasi 200 ribu. Atau ada juga yang ikut mengamankan hasil prolehan suara sampai bermalam di sekitar tempat penyimpanan kotak suara, dan seterusnya. Dengan cara berpikir seperti itu maka insya Allah seorang anggota dewan tidak akan tega untuk potong memotong, sunat menyunat, untuk alasan dan tujuan apapaun. Malah sebaliknya dia akan ikut memfasilitasi agar semakin mudahnya masyarakat menjangkau birokrasi, sehingga dapat mengakses fasilitas, sarana serta anggaran yang menjadi hak-haknya. Ketujuh, bagi kolega, kroni, atau lembaga politik yang mengutus seorang anggota dewan harusnya bisa mesupport secara maksimal, agar anggota dewan bisa bekerja secara profesional. Jangan dikasih tugas tambahan yang mengurangi kredibilitas apalagi sampai kontra produktif terhadap kerja-kerja kedewanan. Jadi kalaupun mau ditambah tugas dan beban pilihah tugas yang sinergi dengan fungsinya sebagai anggota dewan.
Beberapa tugas sampingan yang diberikan kepada anggota Dewan yang justru kontra produktif adalah sebagai berikut :
Pertama, ditugaskan sebagai Mesin Keruk, yaitu Oknum Anggota Dewan ditugaskan untuk bagaimana caranya ikut memenangkan dan menggolkan tender sebanyak banyaknya dari para kroni-kroninya. Hal ini sangat berbahaya karena akan melumpuhkan fungsi kontrolnya. Dalam menilai siapa yang akan menjadi pemenangnya menjadi tidak obyektif, dan jika berhasil memenangkan tender milik kroninya akan sulit menjalankan fungsi kontrolnya.
Kedua, ditugaskan sebagai Bengkong (Tukang Sunat), yaitu Oknum Anggota Dewan ditugaskan untuk pandai hitung-menghitung prosentase dari berbagai nilai proyek, apalagi proyek penyaluran dana aspirasi. Ini sangat berbahaya karena akan menurunkan spek dan kualitas proyeknya. Apalagi aparatur lainnya melihat, terus iri ingin juga sunat menyunat, semakin banyak lagi nilai proyek yang terpotong, dan sering kita dengan proyek yang gagal, karena terlalu banyak potongan.
Ketiga, ditugaskan sebagai Debt Kolektor, yaitu Oknum Anggota Dewan ditugaskan untuk memberikan setoran di luar setoran rutin kepada partai yang mengantarkanya menjadi anggota Dewan. Lagi-lagi seperti ada keharusan “Balas Jasa” dalam arti yang sempit. Kemudian si Anggota Dewan itu berkreativitas dengan mendata para pengusaha atau rekanan yang dianggap membandel, untuk bisa diajak “Berdamai”. Seperti ada Misi Khusus untuk hal seperti itu.
Bahayanya adalah si Oknum Anggota Dewan mendapatkan pembenaran, manakala “kreativitasnya” itu di luar kontrol dan tidak jarang bisa merugikan partainya itu sendiri. Tetapi di sisi lain perasaan yang terbangun si Anggota Dewan itu seperti mendapat Misi Khusus Fundraising untuk pemilu mendatang. Terjadilah aksi dan transaksi di luar kontrol dan akhirnya menjerumuskan keberadaan partai itu sendiri.
Keempat, ditugaskan sebagai Pengamen, Layaknya pengamen di Lampu Merah seorang pengamen harus pandai “bernyanyi”, tetapi jika pengemudi mobil memberi uang, segera menghentikan nyanyinya kemudian berpindah ke mobil berikutnya. Bahkan sebelum bernyanyi jika sipengemudi memberi terlebih dahulu uang recehnya, maka si pengamen tadi tidak jadi bernyanyi, akan melanjutkan ke mobil berikutnya, begitu seterusnya.
Kritis dan vokal melihat kesalahan itu sangat baik, dan itu syarat utama sebagai seorang Anggota Dewan. Sudah seharusnya Anggota Dewan itu Kritis dan vokal, jadi tidak boleh diam, tugas utama Anggota Dewan adalah bicara. Tentu saja semua hasil temuannya ditujukan untuk diadakan perbaikan. Sehingga fungsi kontrolnya menjadi optimal.
Jika cuma sekadar mencari-cari kesalahan, dan bukan untuk perbaikan, tetapi untuk bisa diajak CingCai atau diajak “Berdamai” inilah yang berbahaya. Karena akan menjatuhkan nama dewan dengan gelar “yang terhormat” itu bisa menjadi terlaknat. Di hadapan Anggota Dewan pengusaha yang dianggap bermasalah itu seperti hormat dan tunduk, tetapi jika diperiksa pikiran dan hatinya penuh dengan sumpah serapah serta penuh dengan penghinaan. Begitu juga jika proses “Sandiwara Tender” itu terbaca oleh pihak yang kalah, maka berbagai macam hinaan, caci maki akan keluar untuk orang-orang yang terlibat.
Kelima ditugaskan sebagai Tukang Palak, jika oknum Anggota Dewan mengancam kepada para pengusaha dan rekanan itu murni, agar si pengusaha mau melaksanakan kewajibannya, itu juga masih dianggap wajar. Apakah ancaman itu berupa ekspos di media atau dilaporkan ke pihak yang berwenang. Tetapi jika ancaman dan gertakannya itu hanya basa-basi agar si pengusaha mau “berdamai” alias bagi-bagi kue, itulah yang berbahaya.
Bahayanya adalah rakyat tertipu, karena merasa terpuaskan dengan wakil rakyat yang dipilihanya bersikap vokal dan kritis. Dengan kemampuan retorika yang luar biasa, seolah menjadi pahlawan bagi konstituen pemilihnya. Padahal cukup banyak dari hasil-hasil temuan yang terekspose tetapi tidak jelas bagaimana tindak lanjutnya. Maka larislah penjual Peti Es karena banyak dibutuhkan untuk menyimpan kasus-kasus yang berhasil diekpos tapi kemudian berhasil di Cingcaikan.
Semoga wakil rakyat pada periode sekarang ini lebih baik dan profesional, sehingga bisa menghidari tugas-tugas sampingan yang kontra produktif, karena itu akan mencoreng nama baik, Anggota Dewan itu sendiri.
Sumber :