Jakarta (18/03) — Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, sepakat dengan sikap berbagai pakar HTN, juga Fraksi PDIP MPR RI dan beberapa Anggota DPD, yang mengusulkan amandemen konstitusi sekalipun terbatas terkait pokok-pokok haluan negara (PPHN), untuk ditunda hingga sesudah 2024.
Menurut Hidayat, penundaan amandemen konstitusi karena saat ini kondisi politik sudah tidak kondusif, apalagi adanya kekhawatiran amandemen terbatas akan ditunggangi oleh pihak-pihak yang ingin mengubah UUD untuk menunda Pemilu dan atau memperpanjang masa jabatan Presiden.
“Ini sikap yang bijak, sekalipun FPDIP MPR RI semula mendukung amandemen terbatas UUD untuk menghadirkan PPHN sesuai rekomendasi dari Pimpinan MPR periode sebelumnya, tetapi karena mempertimbangkan dinamika politik kekinian yang tidak kondusif, apalagi adanya pihak-pihak yang kabarnya akan menunggangi usulan amandemen terbatas itu untuk meloloskan agenda politik mereka yaitu menunda Pemilu dan atau memperpanjang masa jabatan Presiden, maka wajar bila sekarang pimpinan FPDIP di MPR, yang juga Wakil Ketua MPR Ahmad Basharah, menyampaikan sikap FPDIP agar rencana amandemen sekalipun terbatas itu ditunda, hingga selesainya periode MPR 2019-2024. PKS mendukung sikap terakhir FPDIP ini, karena bersesuaian dengan sikap Fraksi PKS MPR, yang bahkan sejak periode yang lalu sudah menolak mengamandemen UUD untuk menghadirkan PPHN. FPKS MPR RI berpendapat untuk hadirkan PPHN cukup melalui UU yg diperkuat,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu(19/03).
HNW sapaan akrabnya mengatakan, UUD 45 sebelum perubahan memang tidak mengatur secara rinci dan tegas soal tatacara perubahan terhadap UUD, tetapi UUDNRI 1945 Pasal 37 ayat (1), (2), (3) & (4) yang berlaku semenjak 2002 sudah mengatur dengan sangat jelas dan tegas soal rincian tatacara usulan perubahan terhadap UUD NRI 1945, sehingga sejak proses usulan amandemen harus jelas dan definitif termasuk materi yang ingin diamandemen, sehingga menutup celah bisa hadirnya agenda yg disusupkan.
Tetapi tetap saja banyak pihak khawatir adanya ‘penumpang gelap’ yang ingin mengembalikan Indonesia ke zaman ‘pra Reformasi’.
Dan itu terlihat pada beberapa pekan ini, santer sekali terbaca adanya manuver usulan perubahan UUD untuk penundaan pemilu atau penambahan masa jabatan Presiden, dengan memakai momentum adanya usulan perubahan terbatas terhadap UUD.
“Kondisi politik yang sedang tidak kondusif, apalagi sekarang sudah masuk ke tahun Politik menjelang pelaksanaan pemilu 2024, maka kekhawatiran adanya pihak yang mencoba menyusupkan agenda penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden, sangat wajar diwaspadai, dan disikapi dengan tegas, seperti oleh FPDIP MPR RI, agar manuver-manuver yang tak sesuai dengan konstitusi itu dapat dikoreksi dan diakhiri,” ujarnya.
HNW menambahkan mayoritas pimpinan MPR RI, termasuk Ketua MPR, memang telah menyatakan tidak ada agenda amandemen UUD NRI 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden.
Namun, dengan tetap ngototnya sebagian pihak untuk mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden, dengan menunggangi adanya rekomendasi di MPR untuk hadirkan PPHN dimana semula sebagian Fraksi, seperti FPDIP, mengusulkan agar itu dilakukan melalui amandemen terbatas terhadap UUD NRI 1945, maka akan lebih meyakinkan masyarakat apabila usulan terbuka dari FPDIP untuk menunda pengusulan amandemen terbatas itu juga diikuti dan secara terbuka dinyatakan juga oleh Fraksi-fraksi di MPR dari Partai-Partai koalisi.
“Agar dengan demikian maka semua pihak segera menghentikan manuver dan segera fokus mensukseskan pelaksanaan UUD NRI 1945 dan UU Pemilu yang telah menjadi kesepakatan antara KPU, Pemerintah dan DPR, bahwa Pemilu diselenggarakan pada 14-2/2024, tidak ditunda, dan karenanya masa jabatan Presiden juga tidak ditambah,” ujarnya.
Lebih lanjut, HNW juga mendukung wacana agar Masyarakat mengawal MPR agar tetap bisa menjaga konstitusi termasuk yang terkait dengan ketentuan pembatasan masa jabatan Presiden maupun Pemilu lima tahun sekali.
Dan untuk mewaspadai adanya gerakan-gerakan yang tetap ingin memaksakan agendanya memperpanjang masa jabatan presiden, sekalipun itu inkonstitusional.
“Gerakan ini tentu saja bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi yang merupakan amanat reformasi dengan adanya pembatasan masa jabatan Presiden dan bahwa Pemilu diselanggarakan 5 tahun sekali.
Agar tak terulang pengalaman kelam bangsa Indonesia sebelumnya, karena tidak tegasnya aturan soal masa jabatan Presiden, dan Pemilu yg diatur 5 tahun sekali,” ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menegaskan posisinya dan sikap PKS untuk konsisten terus menjaga amanat Reformasi dan Konstitusi, dan bersama dengan masyarakat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Konstitusi, dan mengkritisi serta menolak gerakan inkonstitusional yang inginkan pemilu ditunda atau masa jabatan Presiden diperpanjang.
Agar ada keteladanan patuhi dan laksanakan Konstitusi, sehingga Rakyat masih bisa percaya dengan lembaga-lembaga negara dan demokrasi, untuk keselamatan NKRI,” pungkasnya.
Sumber :