dok: Mahmud/PKSFoto |
Oleh Dr. Salim Segaf Aljufri, Ketua Majelis Syura PKS dan Wakil Ketua Umum Persatuan Ulama Muslim Sedunia (IUMS)
Dalam kitab suci al-Qur’an, istilah kalimatun sawa’ bermakna satu pernyataan atau keyakinan yang mempertemukan berbagai perbedaan. Dalam konteks keyakinan beragama, kalimat yang sama itu adalah “tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS Ali Imran: 64).
Ulama modern asal Aceh, Hasbi as-Shiddiqy menggunakan istilah kalimatun sawa’ sebagai konsep kesepakatan di tengah perbedaan keyakinan, tidak hanya menyangkut masalah keagamaan, namun juga masalah kemasyarakatan dan kebangsaan. Pandangan ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, tapi memiliki komitmen bersama.
Komitmen itu telah dibangun sejak Sumpah Pemuda 1928 dengan inisiator tokoh-tokoh organisasi kepemudaan dari berbagai daerah Nusantara, yakni Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan lain-lain.
Kesepakatan dasar tentang Tanah Air, Bangsa dan Bahasa yang satu dibahas kembali secara mendalam pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 28 Mei – 1 Juni 1945.
Sejumlah tokoh tampil menjawab pertanyaan Ketua BPUPK tentang apa dasar negara yang disepakati, jika Indonesia merdeka? Pidato Ir. Soekarno menjadi momentum puncak (lahirnya istilah Pancasila), disamping pidato Mr. Mohammad Yamin, Mr. Soepomo dan tokoh lain yang tak tercatat.
Episoda itu berlanjut dengan pembahasan resmi dalam sidang marathon yang diakhiri dengan kesimpulan oleh Panitia Sembilan sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Naskah piagam inilah yang direncanakan akan dibacakan dalam momen proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Tapi, kondisi domestik penuh ketidakpastian dan situasi dunia juga berubah dengan cepat, sehingga teks proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945) dirumuskan secara mendadak oleh Soekarno dan Hatta.
Sehari setelah proklamasi (18 Agustus 1945) dilakukan sidang lanjutan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menyepakati Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Dalam Pembukaan UUD 1945 tercantum rumusan resmi tentang dasar negara Republik Indonesia: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan resmi itu dikenal sebagai Pancasila.
Terlihat jelas, dari proses sejarah yang panjang bahwa Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang disepakati oleh para Pendiri Bangsa Indonesia sebagai refleksi dari kesadaran kolektif seluruh rakyat Indonesia.
Kita bersyukur bahwa titik temu dan kesepakatan historik itu dicapai melalui jalan dialog dan musyawarah, bukan dipaksakan oleh satu pihak dengan kekerasan atau dicangkokkan oleh kekuatan asing yang ingin bercokol di Indonesia.
Bangsa Indonesia sudah menunjukkan kualitas luhur dengan mencapi kalimatun sawa’ dalam konteks nasionalisme modern. Bagimanakah kita mencapai titik temu di masa kini?
Konteks sejarah kini bangsa Indonesia menghadapi polarisasi politik sebagai dampak dari penyelenggaraan demokrasi yang belum sempurna. Sejak pemilihan umum 2014 dan berlanjut pemilu 2019, pembelahan politik itu merasuk hingga ke kelompok masyarakat akar rumput. Cukup mengkhawatirkan karena bisa menuju disintegrasi bangsa, bila tidak segera ditangani dengan serius.
Sebenarnya di tingkat elite politik telah terjadi semacam rekonsiliasi dan kompromi, namun ada saja kelompok yang tidak puas lalu mengeksploitasi perbedaan kepentingan menjadi pembelahan sikap politik.
Kondisi itu diperparah dengan percakapan publik yang berlangsung liar di media sosial melibatkan para para buzzer dan provokator. Terbangun persepsi kelompok yang semakin mengeras dan terjadi jurang komunikasi yang semakin lebar.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai entitas politik yang lahir pasca reformasi 1998, menyadari bahaya itu. Dalam rangka memperingati hari ulang tahun yang ke-20 di Istora Senayan (29/5) mengundang sejumlah tokoh nasional, termasuk pimpinan partai politik, untuk menyampaikan gagasan demi mengakhiri polarisasi. Titik temu yang ditawarkan adalah kolaborasi melayani Indonesia.
Tokoh yang hadir dan berpidato langsung antara lain Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (perlunya mendorong titik tengah), Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar (tidak ada jalan lain menghadapi tantangan, kecuali berkolaborasi dengan semangat Islam rahmatan lil alamin), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno, sekaligus Wakil Ketua Partai Gerindra (kemajuan Indonesia hanya bisa dicapai dengan sinergi dan kolaborasi), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (urgensi persatuan di atas kemajemukan).
Sementara itu, tokoh yang menyampaikan pandangan secara virtual adalah Jusuf Kalla (posisi sebagai oposisi tidak menghalangi parpol berkontribusi menjaga demokrasi), Ketua Umum Nasdem Surya Paloh (kontestasi politik sebagai keniscayaan dan kolaborasi sebagai tanda kematangan berpolitik), Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (dengan ideologi kekaryaan siap bekerjasama memakmurkan Indonesia), Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kolaborasi politik untuk memberi solusi bagi persoalan rakyat merupakan imperatif), Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa (semangat persatuan untuk kemajuan bangsa) dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (keterbukaan dengan semua elemen strategis).
Milad PKS memang bukan kongres pemuda atau sidang BPUPK, bukan pula konvensi nasional untuk menentukan calon presiden RI tahun 2024. Namun, segenap tokoh yang berpotensi tampil dalam percaturan nasional telah hadir mengungkapkan gagasannya.
Disamping itu, pimpinan parpol yang paling berpengaruh telah menyatakan secara terbuka siap bergandeng tangan mencari solusi di tengah gejala polarisasi dan kebuntuan politik. Separuh jawaban sudah terungkap, tinggal komunikasi politik yang lebih intensif untuk mewujudkan koalisi konstruktif.
Sebagaimana pendiri bangsa mencapai kesepakatan tentang dasar negara Pancasila di awal kemerdekaan, maka kita perlu mencari titik temu di tengah situasi transisi saat ini. Jangan sampai kita membongkar dan mengorbankan ikatan kebangsaan yang sudah dirajut generasi perintis.
PKS bersyukur bisa menjadi tuan rumah bagi Silaturahim Kebangsaan yang dibutuhkan menjelang pergantian kepemimpinan nasional pada tahun 2024 nanti. Demokrasi Indonesia harus semakin matang. Kemantapan sistem demokrasi di Indonesia sedang diuji, sekali lagi, melalui pergiliran kekuasaan secara damai.
Kita mengenal prinsip perubahan dan kesinambungan (Change and Continuity). Perubahan diperlukan untuk memberi peluang bagi kemajuan, sebagaimana perubahan merupakan sunnatullah (hukum alam) yang berlaku dalam berbagai lapangan kehidupan.
Sementara itu, kesinambungan juga diperlukan agar upaya mewujudkan cita-cita Proklamasi Indonesia (1945) tidak terputus di tengah jalan. Harus ada estafeta perjuangan bangsa dari generasi ke generasi, jangan sampai diinterupsi atau terdisrupsi hanya karena pergantian kekuasaan.
Mari duduk bersama untuk mencapai kalimatun sawa’.
Sumber :