Jakarta (23/02) — Anggota Legislatif Fraksi PKS, Ecky Awal Muharram memberikan perhatiannya kepada Bank Indonesia. Ecky memaparkan tantangan dan harapannya untuk Bank Indonesia ke depan dengan diusulkan kembali Perry Warjiyo sebagai calon Gubernur Bank Indonesia periode 2023-2028.
Bukan hal yang mengejutkan, imbuhnya, karena sejalan dengan capaian-capaiannya yang telah diperoleh selama lima tahun terkahir, khususnya dalam menghadapi ‘krisis’ ekonomi akibat pandemi Covid-19.
“Dalam situasi sulit tersebut, Bank Indonesia di bawah komando Perry Warjiyo mampu memformulasi secara tepat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dalam rangka menjalankan tugas utamanya,” ungkap Ecky.
Anggota Komisi XI DPR RI ini menjelaskan bahwa sepanjang pandemi, Bank Indonesia sebagai bank sentral secara konsisten menjaga tingkat core inflation (inflasi inti) di level rendah dan nilai tukar rupiah yang tetap stabil.
“Data menunjukan bahwa tahun 2020 hingga 2022 tingkat inflasi inti berada di 1,06 persen, 1,56 persen dan 3,36 persen. Sedangkan nilai tukar rupiah dari 2020 sampai dengan 2022 stabil di range Rp14.084-Rp16.367 per dolar AS,” sebut Ecky.
Ecky menjelaskan bahwa saat ini dan ke depan sektor moneter semakin menghadapi tantangan fundamental.
“Beberapa tahun lalu, kita mengamati bahwa tugas Bank Indonesia bisa fokus ke pengelolaan nilai tukar. Tugas tersebut pun dihadapkan pada cadangan devisa yang terbatas sehingga Rupiah rentan tertekan.” Ungkap Ecky.
Ecky melanjutkan, tantangan berikutnya adalah koordinasi Bank Indonesia dengan otoritas fiskal dan keuangan lainnya.
“Tantangan ini harus menjadi fokus Bank Indonesia, seiring dengan tujuan baru yang diamanatkan UU PPSK terkait dukungan Bank Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.”
Ecky menilai bahwa pimpinan Bank Indonesia yang menjadi nahkoda ke depan harus hati-hati merumuskan tools yang digunakan agar tidak terjebak oleh dominasi sektor moneter di dalam perekonomian.
Selain itu, Ecky menggarisbawahi ‘pekerjaan rumah’ Bank Indonesia terkait persoalan Devisa Hasil Ekspor (DHE).
“Selama ini banyak sekali eksportir migas, minerba, serta hasil bumi dan laut yang memilih memarkirkan devisa hasil ekspornya di luar negeri, akibatnya dukungan terhadap ekonomi domestik semakin rendah” jelas Ecky.
Semestinya, kata Ecky, Bank Indonesia sudah memiliki jurus jitu untuk menangani masalah DHE ini.
“Eksportir menjual SDA Indonesia, alangkah mirisnya jika uangnya tidak bisa menyokong pertumbuhan nasional,” ungkap Ecky.
Selanjutnya yang tak kalah penting menjadi perhatian adalah tantangan digitalisasi. Di era serba digital saat ini, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter perlu segera bertransformasi menjadi bank sentral digital yang kredibel.
Hal ini karena digitalisasi di berbagai sektor telah terjadi secara masif dan menjadi sebuah keniscayaan, khususnya di sektor keuangan.
“Pertanyaan mendasarnya adalah sudah sejauh mana Bank Indonesia bertransformasi, sehingga sebagai bank sentral dan otoritas, tidak tertinggal dari industri yang dinaunginya?” tutup Ecky.
Sumber :