Polemik aturan pelarangan jilbab di ranah kepolisian republik
Indonesia semakin mencuat. Berbagai protes dan kritik meluncur terhadap
pelarangan kepada penggunaan jilbab.
Khusus, melalui surat keputusan Kapolri nomor Pol: Skep/702/IX/2005 yang disebutkan bahwa penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri tidak membolehkan penggunaan jilbab.
Khusus, melalui surat keputusan Kapolri nomor Pol: Skep/702/IX/2005 yang disebutkan bahwa penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri tidak membolehkan penggunaan jilbab.
Pelarangan ini dinilai telah melanggar nilai-nilai
konstitusi, Undang-undang dasar 1945 pasal 29. Disebutkan bahwa
kebebasan beribadah merupakan jaminan Negara sehingga seharusnya tidak
ada lagi pengekangan terhadap praktik peribadatan, salah satunya adalah
pemakaian jilbab.
Alasan yang pernah diungkapkan sebagai salah
satu sebab penolakan penggunaan jilbab di kalangan Polri dan PNS Polri
adalah kekhawatiran adanya gangguan terhadap kinerja Polri. Kekhawatiran
ini sungguh sangat tidak beralasan. Hal ini pernah disampaikan oleh
beberapa tokoh nasional.
Salah satunya, ketua umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang menganggap bahwa alasan pelarangan jilbab merupakan tindakan yang tidak bijak, serta menunjukkan sikap Polri yang ketinggalan zaman.
Salah satunya, ketua umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang menganggap bahwa alasan pelarangan jilbab merupakan tindakan yang tidak bijak, serta menunjukkan sikap Polri yang ketinggalan zaman.
Isu pelarangan jilbab ini sebenarnya telah
pernah digaungkan sejak beberapa tahun silam. Hampir satu dekade
penggunaan jilbab di ranah publik Indonesia, praktik penggunaan jilbab
mengalami proses yang cukup panjang. Ada dua sektor yang bisa diamati
sebagai contoh, pertama, praktik penggunaan jilbab di wilayah
pemerintahan (meliputi lingkup jajaran eksekutif, legislatif maupun
yudikatif).
Sektor yang kedua, adalah praktik penggunaan jilbab di
wilayah kampus. Dahulu, penggunaan jilbab baik di kantor-kantor
pemerintahan maupun kampus-kampus merupakan sesuatu yang dilarang (baik
berupa aturan maupun persepsi).
Tidak heran, banyak kasus-kasus yang menimpa beberapa wanita yang berjilbab saat itu yang mendapat perlakukan diskriminasi. Ada yang dikucilkan, dan tidak jarang beberapa diantaranya kemudian diancam dikeluarkan dari kampus.
Tidak heran, banyak kasus-kasus yang menimpa beberapa wanita yang berjilbab saat itu yang mendapat perlakukan diskriminasi. Ada yang dikucilkan, dan tidak jarang beberapa diantaranya kemudian diancam dikeluarkan dari kampus.
Penyikapan
yang dilakukan publik saat itu merupakan refleksi perkembangan persepsi
masyarakat. Saat ini, tentunya keadaan sudah banyak berubah. Proses
reformasi yang mengalami titik puncak tahun 1998 menjadi pembuka pintu
jalan perubahan dan perbaikan, khususnya dalam konteks ini, penghargaan
terhadap kebebasan beragama.
Pemakaian jilbab patut dilihat secara cermat, bahwa jilbab adalah bentuk penataan terhadap ketentuan agama, dalam hal ini syariat Islam.
Pemakaian jilbab patut dilihat secara cermat, bahwa jilbab adalah bentuk penataan terhadap ketentuan agama, dalam hal ini syariat Islam.
Jadi, bukanlah sebagai corak budaya
semata ataupun simbolisasi agama belaka. Pun, penggunaan jilbab tidak
dapat dikualifikasikan sebagai simbol politik. Dan, ketentuan agama ini
telah secara eksplisit dicantumkan sebagaimana diamanatkan dalam
Pancasila sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Undang-undang Dasar
1945, khususnya pasal 29.
Praktik penggunaan jilbab juga
seharusnya menjadi perhatian sektor militer, terutama TNI. TNI sebagai
pilar pertahanan dan keamanan nasional seringkali dianggap sektor yang
harus bebas dari nilai-nilai, selain nilai militer itu sendiri. Pada
hakikatnya, militer harus tetap berjalan sesuai dengan aturan dasar
konstitusi.
Pasal 29 merupakan pilar utama yang menjadi dasar
hukum paling mendasar sehingga tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Jaminan yang diberikan oleh Negara sepatutnya harus direalisasikan
sepenuhnya sehingga kalau tidak dijalankan maka Negara dianggap telah
melakukan wanprestasi terhadap apa yang telah diamanatkan oleh
konstitusi.
Namun, sejauh ini TNI belum memberikan perubahan
kebijakan ataupun sekadar respons mengenai penggunaan jilbab.
Setidaknya, TNI wajib memberikan ruang kepada aparat wanita yang memang
ingin berjilbab.
Pelarangan penggunaan jilbab untuk wanita, baik
di institusi Polri maupun TNI, perlu direvisi. Bentuk pelarangan
penggunaan jilbab ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap nilai-nilai
konstitusi sehingga mau tidak mau wajib ditindaklanjuti secara serius,
baik secara internal maupun dari luar institusi.
Secara khusus
tentunya, para petinggi kelembagaan tersebut menjadi orang yang paling
bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan ini. Di lain sisi, respon
dan dukungan dari masyarakat luas juga sangat berperan penting untuk
menggalang perbaikan ini sebagai salah satu bukti ketaatan terhadap
nilai-nilai konstitusi. (hr/rol)
Redaktur: Saiful Bahri