RUU P-KS ini menyeruak tatkala aktivis Maimon Herawati yang mencetuskan petisi. Dia menilai RUU ini mendukung perzinahan dan sebab itu harus ditolak.
Dalam petisi yang dibuatnya, dia mengatakan menyerang prinsip kedaulatan perempuan yang diperkokoh lewat RUU P-KS.
Dikatakan Maimon dalam petisinya, adalah hal yang ekstrem jika perempuan diperbolehkan melakukan aborsi secara sukarela, padahal pemaksaan aborsi dijerat hukum.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) rupanya menjadi satu-satunya partai di Parlemen yang berjuang sendirian menolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bahkan, partai yang selama ini bersama PKS, Gerindra beda sikap soal RUU tersebut.
RUU ini rupanya diusulkan PDIP dan PKB, dan sejumlah fraksi juga mendukung RUU ini termasuk Gerindra.
Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menyatakan alasan partainya menolak RUU tersebut karena pihaknya sangat berkomitmen memberantas kejahatan seksual.
Menurut Jazuli, pihaknya butuh UU yang tegas dan komprehensif yang melandaskan pada nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya bangsa. Sehingga, menurutnya bukan dengan peraturan yang ambigu dan dipersepsi kuat berangkat dari paham atau ideologi liberal-sekuler yang sejatinya bertentangan dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia.
Lebih lanjut, dia menuturkan PKS ingin fokus RUU tidak melebar ke isu-isu di luar kejahatan seksual. Sehingga, fokus hanya pada tindak kejahatan seksual, yaitu pemerkosaan, penyiksaan seksual, penyimpangan perilaku seksual, pelibatan anak dalam tindakan seksual dan inses.
Pembatasan tersebut, lanjut Jazuli, sekaligus memperjelas jenis tindak pidana dalam RUU sehingga tidak membuka tafsir bebas sebagaimana yang dikritik masyarakat luas saat ini.
Menurut Jazuli, makna kekerasan seksual itu bertuliskan setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang.
Hal itu, kata dia, menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial budaya dan atau politik.
Sumber :