Kepada ribuan ibu anggota majelis taklim, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengucapkan selamat datang di Gedung Nusantara IV, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, 14 Februari 2019.
“Selamat datang di gedung wakil rakyat”, ujarnya. Dikatakan, masyarakat bebas datang ke komplek parlemen.
“Di sini bisa melihat persidangan dan perdebatan wakil rakyat”, ucapnya. Komplek yang berada di kawasan Desa Gelora, Senayan, itu disebut oleh HNW sebagai salah satu tujuan wisata bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum lainnya. “Kawasan ini masuk cagar budaya”, ucapnya.
Dalam acara Sosialisasi Empat Pilar, kerja sama antara MPR dengan Yayasan Bait Al Rahman, HNW mengatakan sesungguhnya dalam konteks keummatan, kerakyatan, dan ke-Indonesia-an, antara ummat Islam dengan paham kebangsaan sudah menyatu.
Menyatunya ummat Islam dengan paham kebangsaan, disebutkan bagaimana ketika Bung Tomo menyemangati masyarakat Jawa Timur dalam mempertahankan Kota Surabaya dari ancaman pendudukan tentara Inggris, 1945. “Bung Tomo meneriakan Allahu Akbar dan merdeka”, ucanya.
Bung Tomo meneriakan kata-kata tersebut karena adanya Fatwa Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasjim Asy’ári, pendiri NU. Fatwa hasil kesepakatan ulama itu menyatakan hukumnya fardu ain bagi ummat Islam untuk berperang demi mempertahankan Surabaya dari upaya penjajahan kembali bangsa asing. “Bila meninggal dalam peperangan maka ia mati sahid”, ujar HNW meneruskan isi dari fatwa itu.
Dari sinilah menurut HNW, Bung Tomo menaati apa yang difatwakan oleh ulama, ikut berjuang dengan menggelorakan kata, “Allahu Akbar dan merdeka”. Dari fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama dan teriakan takbir serta kata merdeka, membuat Indonesia selamat dari upaya Belanda untuk menduduki kembali negara ini.
Dari apa yang dilakukan oleh ulama, santri, dan Bung Tomo, menunjukan peran ummat Islam sangat besar dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih lanjut dipaparkan, tidak hanya itu peran yang dimainkan oleh ummat Islam dalam menjaga bangsa dan negara.
Dituturkan, ketika bangsa ini memilih bentuk NKRI, pilihan itu rupanya tidak disukai oleh Belanda. Untuk menggagalkan Indonesia bersatu, mereka terus menerus menekan Indonesia.
Bentuk tekanan itu adalah mengakui kedaulatan namun dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Pengakuan itu diberikan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, Desember 1949.
Dalam perjalanan waktu, Ketua Fraksi Masyumi, di Parlemen, yakni Mohammad Natsir, melihat hal yang demikian, bentuk RIS, merupakan penyimpangan dari tujuan negara ini didirikan. Untuk itu pada 3 April 1950, Natsir menyampaikan pidato di depan anggota parlemen.
Pidato dengan judul Mosi Integral itu didukung oleh semua politisi. “Dari pidato itulah membuat Indonesia kembali menjadi NKRI”, ucapnya. Apa yang dilakukan Natsir, menurut HNW membuktikan dalam masalah menjaga persatuan bangsa, partai dan ummat Islam merupakan garda terdepan.
Kepada mereka disampaikan bahwa rakyat Indonesia sekarang mempunyai kedaulatan. Kedaulatan yang dimiliki, yang bisa digunakan saat Pemilu, menurut HNW menentukan masa depan bangsa. “Pastinya ummat Islam ingin bangsa ini seperti yang diperjuangkan oleh para ulama dan para pendiri bangsa”, tuturnya.
Untuk itu dalam proses demokrasi, Pemilu, dalam memilih pemimpin jangan hanya banyak-banyakan suara namun juga perlu dipilih pemimpin yang memiliki kualitas dan kapasitas. “Pilih pemimpin yang baik dan benar”, ucapnya.
Sumber :