Erwyn Kurniawan
Presiden Reli
Bisa jadi, ketika banyak anak muda mendeklarasikan Partai Keadilan (PK) pada 1998 silam, balon pesimisme hadir.
Partai ini dianggap sekadar memperpanjang daftar lahirnya partai baru paska Orde Baru tumbang. Apalagi ketika melihat basisnya. Sangat perkotaan.
Di usianya yang ke-22 tahun, mari kita sama-sama soroti PKS berdasarkan data dan fakta. Sebagai dasar bagi kita memproyeksi Raihan suara PKS pada 2024.
Tembus Dua Digit
Reformasi Mei 1998 – meminjam istilah Bachtiar Eflendy dalam menamai gerakan mahasiswa yang marak sepanjang bulan Mei 1998, memang membuka kran politik selebar-lebarnya.
Saat itu, hampir tiap hari partai politik dideklarasikan akibat terjadinya proses liberalisasi dan relaksasi politik di Indonesia. Jumlahnya mencapai ratusan sebelum akhirnya hanya tersisa 48 yang dapat mengikuti pemilu 1999.
Bermacam aliran partai lahir. Termasuk yang berideologi dan berbasis massa Islam dan salah satunya PK. Tercatat 19 partai Islam yang ikut dalam pemilu 1999 diantaranya PPP, PBB, PK. PPI Masyumni, PSII 1905, Partai Masyumi Baru, PUI, PIB, Partai KAMI, PUMI, Partai SUNI. PAY, PAN, dan PKB. Dari sekian banyak partai Islam tersebut, kini hanya tiga partai yang bertahan yakni PKB, PAN, PPP dan PK (kini PKS).
Kemampuan PKS terus eksis dalam percaturan politik di Indonesia tentu saja mencengangkan. Banyak sebab yang membuat partai ini dianggap remeh saat kemunculannya kali pertama, 22 tahun lalu.
Misalnya saja soal akar sejarah. Secara geneologi, PKS tak memiliki jejak dalam sejarah politik di Indonesia. Berbeda dengan PKB yang berbasis NU, PAN yang berbasis Muhammadiyah atau PPP yang telah berdiri di awal Orde Baru. Sehingga kemudian banyak yang mengistilahkan PKS merupakan “partai impor” dari Timur Tengah.
Sebab lain, terkait dengan ijtihad menggabungkan gerakan dakwah dan politik. Hal ini menimbulkan pesismisme dari beberapa kalangan terhadap umur sejarah partai ini. Kesan itu misalnya tertangkap dengan jelas saat kita membaca tulisan Dahlan Iskan di Harian Suara Indonesia pada 21 September 1998. Dahlan yang masih menjadi Direktur Jawa Pos saat itu memberi judul tulisannya Massa Santun Di Dunia yang Bergetah.
Dalam artikelnya itu, Dahlan sangat kagum dengan keberadaan partai ini. Namun, di akhir tulisan, keterpesonaan Dahlan terhadap partai ini ditutup dengan kalimat yang secara kuat mengesankan keraguannya terhadap kelangsungan hidup PK.
Tulis Dahlan:
Yang kita tunggu, bagaimana ketika mereka bertekad untuk berkiprah di panggung politik, yang bukan hanya banyak getah lama tapi juga akan muncul getah-getah baru…
Balon pesimisme kian membesar ketika melihat raihan suara PK. Dalam pemilu 1999 hanya meraih 1.436.565 suara (1,36%) atau setara dengan 7 kursi DPR. Partai ini tak lolos parliamantary treshold (ambang batas parlemen) sehingga harus mengubah nama dari PK menjadi PKS.
Pemilu 2004 mengubah cara pandang banyak orang terhadap PKS. Partai ini secara tak terduga melejit perolehan suaranya dengan mendapat 8.325.020 juta (7,34%) atau setara dengan 45 kursi DPR. Besama Partai Demokrat, PKS menjadi bintang terang dalam pemilu 2004. Keberadaan partai ini pun mulai diperhitungkan.
Hingga Pemilu 2014, suara PKS relatif stabil. Di kisaran 8 juta suara. Secara persentase sekitar 6-8 persen. Kursi di DPR RI antara 40-57 buah.
Baru pada Pemilu 2019 ada perubahan. Secara persentase memang masih 8 persen. Namun, untuk kali pertama dalam sejarah, suara PKS menembus dua digit. Mendapat 11. 493.663. Banyak pengamat yang mengatakan, kenaikan ini karena keberadaan PKS sebagai oposisi dan dukungan umat, khususnya dari alumni 212.
Dua Periode Terakhir Oposisi
Sudah lima kali PKS mengikuti pemilu. Dinamika terjadi. Ada saat di dalam pemerintahan. Ada kalanya juga di luar kekuasaan. Tercatat, tiga kali PKS menjadi oposisi. Kali pertama pada saat Megawati Soekarnoputri menjadi presiden periode 2001-2004, menggantikan Gus Dur.
Dua oposisi lainya pada masa Jokowi-JK dan Jokowi-Ma'ruf Amin. Pada 2014-2019, PKS beroposisi pada pemerintahan Jokowi-JK yang menang pilpres. Ketika itu, hanya dua partai yang secara tegas memproklamirkan dirinya sebagai oposisi. Salah satunya PKS.
Ketegasan sikap PKS sebagai oposisi berlanjut. Jokowi kembali berkuasa, dan PKS sejak awal menegaskan keberadaannya. Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman menyatakan, pilihan sebagai oposisi adalah ikhtiar PKS untuk memantaskan demokrasi di Indonesia.
Ini sungguh pilihan yang tidak mudah. Di saat partai-partai lain memilih untuk merapat kepada Penguasa, PKS justru mantap berdiri sebagai oposisi. Gula-gula kekuasaan tak membuat partai ini tergoda.
Sumber daya ekonomi yang melimpah saat ikut kekuasaan sepertinya dipinggirkan. Partai Dakwah ini lebih memilih berada dalam barisan rakyat yang kian hari hidupnya semakin sulit.
Jika mau jujur, ketegasan sikap oposisi PKS pada dua periode terakhir lebih mendapat sorotan publik. Dibandingkan ada saat beroposisi terhadap Megawati. Mengapa?
Pertama, karena PKS sudah masuk partai menengah. Sikap dan perilakunya sedikit banyak dapat mempengaruhi kebijakan politik. Berbeda dengan masa 2001-2004, saat itu hanya 7 kursi yang dimiliki PKS. Dianggap partai kecil.
Kedua, situasi sosial politik yang berbeda. Keterbelahan terjadi sejak 2014. Dan tetap terjadi walau Prabowo sudah merapat di periode 2019-2024 ini. Keterbelahan publik sepintas terlihat karena soal pilihan politik dan identitas. Padahal, sejatinya itu hanya yang terlihat di permukaan.
Publik saat ini banyak yang gelisah dan resah terhadap kondisi ekonomi. Apalagi saat ini, ketika wabah corona melanda. PHK dimana-mana. Semua sektor kehidupan terkena imbasnya. Orang lapar semakin banyak.
Dengan kondisi ini, rakyat berharap ada pihak-pihak yang berani menyuarakan kondisi tersebut. Mereka berharap ada partai yang berjuang bersama mereka. Pada titik inilah, keberadaan PKS sebagai oposisi pada dua periode terakhir mendapat sorotan.
Dua Besar Di 2024 ?
Ada dua pekerjaan rumah terbesar saat sebuah gerakan dakwah bermetafmorfosa menjadi partai politik. Ke luar, ia harus meyakinkan publik tentang keterbukaan atau inklusifitas partai di tengah masyarakat yang majemuk.
Ke dalam, ia harus meyakinkan kader soal senafasnya antara dakwah dan politik terutama dalam pilhan-pilihan strategi taktik di lapangan.
Saat sebuah gerakan ideologis dengan warna dakwah yang kuat menjelma menjadi sebuah partai politik, maka lahirnya kecurigaan terhadap adanya agenda tersembunyi tak bisa dihindarkan. Dan kalangan Islamphobia kemudian menghembusan isu negatif kepada PKS. Misalnya isu Indonesia akan dijadikan sebagai negara Islam saat kelak PKS memimpin.
Kecurigaan di atas tidak serta merta menghilang dengan ikhtiar menjadikan PKS sebagai partai terbuka. Juga tak akan langsung sirna saat PKS menggelar acara wayangan, menghelat lomba menulis kebangsaan, ber harlem shake, senam nusantara dan sejenisnya.
Butuh waktu cukup panjang untuk mengubah imaji publik soal “fundamentalisme” PKS ini. Ditambah lagi suasana kebatinan sejak 2014. Keterbelahan di masyarakat begitu kental terasa.
Di tingkat akar rumput, isu kemajemukan juga belum mampu dicerna dengan baik. Masih banyak kader PKS yang terkesan menutup diri. Misalnya menjaga jarak dengan non muslim atau tak mau ikut acara tahlilan dan yasinan.
Kondisi ini membuat masyarakat menangkap kesan bahwa PKS tetap tak berubah. Singkatnya, bagi kalangan luar, PKS itu hijau yang kemerah-merahan. Dan bagi beberapa kader, PKS itu merah yang kehijau-hijauan.
Sekarang kita menyoal secara singkat pekerjaan rumah yang bersifat ke dalam atau internal. Meyakinkan kader bahwa nilai-nilai dakwah itu sejalan dengan politik bukanlah perkara mudah.
Menjadi partai politik adalah soal bagaimana meraih suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu. Dan di lapangan, persoalan bagaimana meraih simpati publik di alam demokrasi kerap “berbenturan” dengan nilai-nilai dakwah.
Di negeri ini, aroma politik uang sangat terasa. Medan tempur semacam inilah yang dihadapi oleh PKS sebagai partai dakwah. Ada banyak tanya saat kita mengurai masalah ini.
Bolehkah caleg PKS memberikan uang kepada masyarakat agar memilihnya? Bolehkah menyuap rakyat dengan sembako atau lembaran rupiah? Bolehkah meminta “mahar” kepada calon pemimpin daerah yang akan diusungnya ? Dan lain sebagainya.
Inilah yang saya namakan metamorfosa yang belum tuntas. Seiring waktu, saat usia kian bertambah, tuntasnya metamorfosa PKS adalah sebuah keniscayaan jika agenda-agenda yang selama ini dijalankan terus dilakukan secara konsisten.
Publik luar menjadi yakin dengan kebhinekaan PKS dan kader tak lagi ragu dengan pilihan-pilihan strategi taktik yang sesuai syariah atau tidak.
Kini, metamorfosa ini sepertinya mendekati tuntas. Pilihan PKS sebagai partai Islam yang menjadikan politik dan dakwah sebagai elan vitalnya, kian menguat.
Setidaknya ini terkonfirmasi dari aksi-aksi PKS setiap kali ada bencana hadir. Ada banjir, kader PKS hadir. Ada gempa, kader PKS hadir. Ada kabut asap, kader PKS hadir. Ada Corona, kader PKS tetap hadir.
Menduetkan politik dan dakwah bukan pekerjaan mudah. Tapi sejauh ini, PKS sukses melakukannya. Sudah berapa kali PKS dibuat kecewa oleh kawan politiknya? Dikhianati dan ditinggalkan.
Namun itu semua tak membuat PKS berhenti melayani rakyat. Sebab itu adalah dakwah. Merangkul sebanyak mungkin orang. Membantu sebanyak mungkin manusia tanpa melihat latar belakangnya. Bahkan, itu semua dilakukan jauh sebelum pemilu.
Filosofi partai dakwah yang sigap membantu rakyat ini, sejujurnya justru sangat membantu menghilangkan stigma negatif yang dihembuskan kepada PKS. Sebab kader-kader PKS tak pernah bertanya kepada rakyat yang akan dibantu. Apa agamanya? Apa sukunya ? Dan seterusnya.
Fakta seorang ibu tak berjilbab bernama Sayang jadi bukti tak terbantahkan. Sang Ibu ditolong oleh kader-kader PKS Riau ketika bencana kebakaran hutan melanda daerah tersebut. Bahkan, penganuannyai diucapkan secara langsung dalam acara ILC di TVO One, September 2019 silam.
Apakah PKS bisa menjadi dua besar di 2024 ? Saya termasuk pihak yang optimistis, terlebih melihat PKS yang kini sendirian oposisi, walau banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Jika berhasil, PKS tak cuma memberikan kita pelajaran tentang bagaimana membangun daya tahan dan menawarkan pendekatan baru politik Islam. Tapi juga memberikan bangsa ini alternatif pilihan pemimpin yang layak mengelola negeri tercinta. Insya Allah.
Sumber :