Jakarta (10/09) — Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, mengkritisi dan mengoreksi pengaitan Bahasa Arab sebagai cara penyebaran Radikalisme sebagaimana pernah dinyatakan oleh mantan Menteri Agama, Fachrul Razi atau memperbanyak bahasa Arab sebagai sarana penyebaran Terorisme sebagaimana dinukil dari pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati.
HNW mengingatkan justru ungkapan serapan yang berasal dari Bahasa Arab banyak disebut dalam Pancasila, yang membuktikan bahwa Bahasa Arab (kemahiran maupun memperbanyak penyebutannya) tidak terkait dengan radikalisme maupun terorisme.
“Memang sudah ada klarifikasi, tetapi tidak memadai karena stigma dan tuduhan atau salah amatan itu tidak dikoreksi atau dicabut, padahal kesalahan penilaiannya teramat nyata,” ungkap Hidayat.
HNW sapaan akrabnya mengingatkan, seandainya benar amatan itu, maka apa mungkin Indonesia yang memerangi terorisme dan radikalisme akan tetap meminta atau mengajari anak-anak Sekolah dan warga umumnya untuk menghafalkan dan mengamalkan Pancasila ?
Bukankah dalam Pancasila, lanjut HNW, terdapat banyak kosakata dalam Bahasa Arab yang diserap ke dalam Pancasila yang tetap menjadi dasar dan ideologi negara Republik Indonesia.
“Bukankah dalam Pancasila tetap ada kata ‘Adil’ dalam sila kedua dan kelima, ‘rakyat’ pada sila keempat dan kelima, ‘adab’ pada sila kedua, serta ‘hikmat’, ‘musyawarah’, dan ‘wakil’ pada sila keempat, dan itu semua serapan dari bahasa Arab?!” ujar HNW melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (10/09).
Terorisme dan Radikalisme, imbuhnya, juga pasti bertentangan dengan demokrasi yang simbolnya ada di Parlemen.
“Sementara parlemen di Indonesia yaitu MPR, DPR dan DPD, masih tetap saja mempergunakan istilah dasar yang bahkan semuanya merupakan serapan dari bahasa Arab : Majelis, Musyawarat, Dewan, Wakil, Rakyat, Daerah. Bukankah itu semua berasal dari bahasa Arab ?!,” tanyanya.
Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa tuduhan dan framing tendensius tersebut patut ditolak dan dikritisi, selain karena tidak sesuai dengan fakta, tetapi juga karena framing negatif itu mendowngrade nilai-nilai dalam Pancasila dan kehidupan berdemokrasi dengan simbol Parlemennya.
“Jadi, apabila ada pernyataan memperbanyak Bahasa Arab disebut sebagai salah satu ciri penyebaran terorisme, disadari atau tidak itu bisa jadi bentuk ‘teror’ terhadap Pancasila dan Parlemen Indonesia yang banyak ungkapannya diserap dari bahasa Arab,” ujarnya.
HNW juga menegaskan bahwa kita semua menolak radikalisme dan terorisme, tetapi hendaknya dilakukan dengan berbasiskan kebenaran, bukan framing apalagi Islamophobia.
HNW menambahkan, perlu rasional dan kritis juga, apabila penyebaran terorisme dikaitkan dengan penyebaran Bahasa Arab, lalu bagaimana dengan fakta penyebaran tindakan terorisme di Indonesia dan di dunia yang tidak terkait bahasa Arab.
“Apakah OPM yang meneror kedaulatan NKRI di Papua itu berbahasa Arab ? Atau Belanda/VOC yang meneror dan menjajah Indonesia berabad-abad itu juga berbahasa Arab ? Juga terorisme supremasi kulit putih (Ku Klux Klan) di Amerika dan yang di Selandia Baru dan Kanada? serta teror negara Israel terhadap Palestina? apakah juga terkait dengan bahasa Arab ? Kan tidak ! Tetapi mengapa itu semua tidak disoroti ? Inilah yg menampakkan adanya Islamophobia dibalik tuduhan terhadap bahasa Arab.
Radikalisme dan Terorisme tidak terkait dengan penyebaran bahasa Arab maupun lainnya. Tetapi radikalisme dan terorisme tetap ditolak, bahasa apapun yang dipergunakan,” urai HNW tegas.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan bahwa memang banyak juga orang Arab non Muslim yang mempergunakan bahasa Arab.
“Tetapi secara prinsip Bahasa Arab lebih dikenal sebagai bahasa Al-Qur’an; kitab sucinya Umat Islam, dan bahasa Hadits-haditsnya Rasulullah SAW. Bahasa Arab di Indonesia juga makin menyebar dengan makin banyaknya Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam, juga meningkat tajamnya jumlah calon Jemaah Haji dan Umroh, serta pengajian-pengajian di TV atau Majelis-majelis Taklim, juga karena menguatnya hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia dengan Negara-negara berbahasa Arab di Teluk atau Timur Tengah,” ungkapnya.
Bahasa Arab, tambah HNW, juga sudah diterima dan menyebar secara internasional; ke banyak organisasi-organisasi di tingkat gobal. Bahkan, dari enam bahasa resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Persatuan Parlemen Dunia (IPU) salah satunya adalah bahasa Arab.
TIdak hanya di level Pemerintahan, lanjut HNW, bahasa Arab juga digunakan di kegiatan-kegiatan bisnis internasional, sehingga banyak pebisnis dari mancanegara berusaha belajar bahasa Arab.
“Itu karena sekarang banyak negara Arab sebagai pemain utama dalam ekonomi global, sehingga banyak pebisnis bahkan mempelajari Bahasa Arab. Bahkan, Bahasa Arab saat ini berada di peringkat Power Language Index sebagai bahasa dunia terpenting kelima. Dan itu tentu bukan karena Bahasa Arab sebagai faktor penyebaran terorisme,” ujarnya.
Oleh karena itu, Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan keagamaan ini mengimbau agar masyarakat dan para generasi muda untuk waspada tapi tidak terpancing, jadi saling curiga dan terpecah belah karena adanya tuduhan tak mendasar itu.
”Generasi Muda dan masyarakat umum juga, selain penting belajar menggunakan dan menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar, juga perlu mempelajari banyak Bahasa Internasional, termasuk Bahasa Arab untuk menghadapi kerja sama Internasional dan memenangkan persaingan global.
Tirulah para Pahlawan dan Bapak-bapak Bangsa yang tidak phobia dengan bahasa asing termasuk Bahasa Arab seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, H. Agus Salim, KH Mas Mansoer, KH Kahar Mudzakir, Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, M. Natsir, tokoh-tokoh Pahlawan Nasional yang dikenal ahli dalam berbahasa Arab,” pungkas HNW mengakhiri.
Sumber :