Urgensi Penerjemahan
Di antara para Sahabat Rasulullah Muhammad SAW, ada yang memiliki translation skill atau keterampilan penerjemahan yang sangat mumpuni. Beliau adalah Zaid bin Tsabit. Rasulullah SAW pernah meminta secara khusus kepada Zaid untuk mempelajari bahasa asing yakni Bahasa Ibrani (dipakai pemeluk Yahudi) dan Bahasa Suryani (dipakai pemeluk Kristen di Timur Tengah).
Betapa banyak literatur asing, entah itu dari Timur maupun Barat yang masuk ke nusantara. Dan masuknya tentu saja via proses penerjemahan. Dan yang menerjemahkan tentu harus bisa bahasa asing yang dipakai teks asli naskah-naskah tersebut.
Mungkin kerap kali atensi kita lebih tertuju kepada sosok penulis teks, bukan penerjemahnya. Padahal kehadiran mereka, para penerjemah, sungguh sangat signifikan karena menjembatani pemahaman penulis dan para pembaca. Peran mereka terletak pada fungsi transfer.
Bayangkan berapa besar pahala yang mengalir kepada para penerjemah Al Qur’an. Berapa banyak orang yang mengambil manfaat dari jasa penerjemahan Kitab Suci ini? Bahasa Arab sebagai bahasa Al Qur’an diterjemahkan ke Bahasa Indonesia agar kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang mayoritas beragama Islam lebih baik, lebih dekat dengan agama mereka.
Dengan membaca terjemah Al Qur’an hidup mereka berubah. Dan karena Al Qur’an memerintahkan dakwah maka efek perubahan itu tidak berhenti hanya pada skala pribadi tapi menyebar secara massif. Dengan demikian, penerjemahan sejatinya merupakan embrio perbaikan.
Untuk bisa menerjemahkan Al Qur’an ke dalam Bahasa Indonesia, tentu para penerjemah harus belajar Bahasa Arab (source language) terlebih dahulu, kemudian belajar Bahasa Indonesia (target language). Jadi, harus bilingual.
Bahkan, ada yang berpendapat karena bahasa juga terkait dengan budaya, maka seorang penerjemah juga perlu menjadi sosok yang bicultural. Saya ingat dulu waktu kuliah di Jurusan Bahasa Inggris Universitas Negeri Makassar (UNM), ada mata kuliah Cross Cultural Understanding atau Pemahaman Lintas Budaya.
Keberadaan Machine Translation seperti Google Translate yang gratisan sampai Trados yang berbayar mahal, meski kian baik, utamanya dalam kosa kata yang sudah baku penggunaannya, tetap saja tidak bisa menggantikan peran manusia dalam penerjemahan.
Mesin tidak sensitif seperti manusia kala berhadapan dengan sastra misalnya. Istilah yang familiar adalah “Computer-Assisted Translation (CAT)”. Disebut “Assisted” sebab memang fungsinya lebih ke membantu, bukan menjalankan keseluruhan peran penerjemahan.
Menerjemahkan Teks dari Timur maupun Barat
Jika kita sebagai manusia Indonesia mengambil khazanah keislaman kita dari Timur Tengah, lalu apa yang bisa kita petik dari peradaban Barat (Amerika-Eropa)? Memang ada kecenderungan untuk mengedepankan sikap skeptis terhadap peradaban Barat mengingat track record mereka, misalnya kebijakan luar negeri terhadap dunia Islam.
Tapi tunggu dulu, orang Barat tidak semuanya sama. Sesama mereka berdebat juga. Dan jangan lupa di sana ada saudara-saudari Muslim kita yang sudah lama mengambil peran aktif di tengah-tengah masyarakat, dalam berbagai ranah.
Islam mengajarkan pemeluknya untuk mengambil hikmah dari manapun ia menemukannya karena hikmah ibarat harta mukmin yang tercecer. Termasuk dari Barat. Mungkin teknologinya. Atau ekonominya. Sistem pendidikannya.
Ingat tak harus semua diambil. Dipilah-pilah, disaring-saring, yang kira-kira bisa kita ambil sisi positifnya yang mana. Itu yang diterjemahkan karena penerjemahan perlu mempertimbangkan tujuan jangka panjangnya; perbaikan.
Karena Bahasa Inggris mendominasi literatur yang diterbitkan di Barat, maka jika ingin mengambil manfaat dari peradaban mereka, tentu harus belajar Bahasa Inggris dulu. Termasuk harus belajar ilmu penerjemahan (Translation Study) sehingga hasilnya kredibel.
Demikian logika umum yang berlaku pada proses penerjemahan. Ia menuntut penguasaan memadai pada bahasa asal, bahasa sasaran, serta keterampilan mencari padanan kata yang tepat, menyusun kalimat, memerhatikan tanda baca, dan lain sebagainya.
Pada titik ini, kita mungkin sepakat harus ada di antara kita yang mengambil peran penerjemahan English-Bahasa Indonesia. Poin pentingnya adalah mengambil ilmu dari Barat dengan menerjemahkan literatur mereka ke dalam Bahasa Indonesia demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai amanat Undang - Undang Dasar 1945, demi perbaikan.
“... Muslims collected the great books of science, medicine, and philosophy from the West and the East and TRANSLATED them into Arabic from Greek, Latin, Persian, Coptic, Syriac, and Sanskrit.
The age of TRANSLATION was followed by a period of great creativity as a new generation of educated Muslim thinkers and scientists made their own contributions to learning in philosophy, medicine, astronomy, optics, art, and architecture."
Karena tulisan ini tentang penerjemahan, ya baiknya kita terjemahkan. Kira-kira artinya begini (mohon maaf, bukan ahli – tapi mau belajar-):
“Umat Islam (zaman dulu nih gaess karena pakai Verb lampau) mengoleksi buku-buku hebat dari dunia sains, obat-obatan, filsafat. Baik dari Barat maupun Timur kemudian MENERJEMAHKANNYA ke Bahasa Arab dari Bahasa Yunani, Bahasa Latin, Persia, Koptik, Suryani, dan Sansekerta.
Era PENERJEMAHAN disusul oeh periode kreativitas luar biasa, sebagai generasi baru ilmuwan dan pemikir Muslim, yang memberikan kontribusi mereka terhadap pembelajaran filsafat, obat-obatan, astronomi, optik, seni, dan arsitektur”
Kalimat di atas saya ambil dari buku karya John L. Esposito dan Dalia Mogahed, terbit tahun 2008, judulnya Who Speaks for Islam: What a Billion Muslims Really Think.
Penerjemahan dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Teman-teman ingat dulu waktu Presiden PKS, Ahmad Syaikhu, merilis surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Perancis, Emmanual Macron (29/10/2020)? Teks Bahasa Indonesianya bisa dibaca di sini:
Nah, supaya Macron dan pemimpin-pemimpin Barat lain bisa tangkap pesan Presiden PKS ini, diterjemahkanlah teks tersebut ke Bahasa Inggris. Terjemahannya ada di sini:
Pertanyaannya, karena dalam surat PKS tersebut ada aspek teknis berupa penerjemahan, kira-kira yang menerjemahkan surat itu Presiden PKS langsung atau staf di PKS yang jago Bahasa Inggris?
Itu contoh konkrit penerjemahan yang sangat positif dari PKS. Sekaligus menjelaskan dimensi penting dari penerjemahan yang inspirasinya kita petik dari kisah Sahabat Zaid bin Tsabit yang dinukil di awal tulisan ini; dakwah rahmatan lil ‘alamin.
Ada contoh terjemahan lain di Blog PKS. Kalau ini, konteksnya menerjemahkan artikel dari TRT dalam rangka merespon status payah salah seorang rektor yang, alhamdulillah, tak lagi jadi reviewer beasiswa LPDP. Bisa cek lebih lengkapnya di sini:
Katanya, jika ada ide, baiknya dicatat dulu. Katakanlah ini ada ide dari salah satu akar rumput PKS. Begini, tahukah Anda bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memiliki 26 Pusat Informasi dan Pelayanan (PIP)? PIP berfungsi sebagai perwakilan PKS di luar negeri.
Dengan sebaran di 26 negara, sebetulnya ini potensi besar yang bisa dikapitalisasi lebih jauh. Anak-anak PKS yang lagi belajar atau kerja di luar negeri ini, pastinya mau tidak mau harus pakai bahasa di negara mana mereka menetap.
Ada yang pakai Bahasa Arab, Turki, Inggris, Korea, Jepang, dan lain sebagainya. Ide konkritnya, segenap anggota ini bisa - sesekali atau seringkali - menerjemahkan teks dalam bahasa negara di mana mereka berada ke Bahasa Indonesia.
Bayangkan betapa asyiknya mendaras ilmu-ilmu baru dari berbagai belahan dunia! Kearifan-kearifan lokal di Turki, Korea, Afrika bisa dinikmati pembaca di nusantara. Kenapa? Karena ada anak-anak PIP PKS yang menerjemahkannya! Wah, saya berimajinasi muncul komunitas baru di PKS; Komunitas Penerjemah PKS (Koper PKS). What do you think?
Sumber :