Politisi Partai Keadilan Sejahtera melihat ada ketimpangan vonis dalam hukum Indonesia. Ahmad Fathanah dinilai mendapatkan vonis tidak sesuai.
PKS mengindikasikan ada ketimpangan hukum dalam putusan vonis kasus dugaan suap kuota impor daging sapi dibanding kasus suap korupsi lainnya.
PKS mengindikasikan ada ketimpangan hukum dalam putusan vonis kasus dugaan suap kuota impor daging sapi dibanding kasus suap korupsi lainnya.
Menurut Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid, Jakarta, Selasa (5/11), kesan ketimpangan muncul karena berbeda dengan vonis kasus suap lain yang diketahui bagian dari penyelenggara negara.
Hidayat menjelaskan, sejak awal proses hukum yang dijalani Fathanah, PKS enggan berkomentar banyak dan memilih menyerahkan kepada penegak hukum serta menghormati proses hingga putusan.
Hanya saja, mantan Ketua MPR ini mengendus bau ketidakadilan dalam vonis Fathanah jika dibanding putusan pengadilan bagi pelaku korupsi lain, seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh dan Djoko Susilo.
Jumlah kurungan penjara Fathanah lebih tinggi daripada nilai suap yang dilakukan koruptor lainnya. Padahal, para koruptor yang telah lebih dulu mencicipi sel penjara adalah bagian dari penyelenggara negara.
Sumber :
=================================================================
Prof. Laica Marzuki Cium Kejanggalan Pengusutan Kasus Suap Impor Daging Sapi
Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Laica Marzuki, mencium banyak kejanggalan dalam pengusutan kasus dugaan suap pengurusan peningkatan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian (Kementan).
Kejanggalan pertama, hakim lebih dulu memvonis dua pihak swasta dari PT Indoguna Utama, yakni Arya Abdi Effendi dan Juard Effendi.
“Ini kenapa swasta diadili duluan, sementara penyelenggara negaranya belakangan? Ini artinya swasta sudah dihukum, tapi penyelenggara negaranya yang disuap masih dicari,” kata dia dalam sebuah diskusi bertema “Mengkritisi Kasus Suap Impor Sapi” yang digelar di JW Luwansa Hotel Jakarta, Sabtu (5/10).
Kejanggalan lainnya terletak pada komposisi hakim yang menyidangkan kasus suap kuota impor daging sapi itu. Harusnya majelis yang sudah menyidangkan kasus Juard dan Arya tidak ikut dalam majelis perkara Luthfi Hasan Ishaaq maupun Ahmad Fathanah, yang juga terdakwa dalam kasus tersebut.
Untuk diketahui, hakim yang menangani perkara itu diketuai oleh Nawawi Pomolango.
“Ini kan masalah keadilan. Dia nggak bakalan adil karena sudah punya warna. Bahkan kalau di majelis banding atau kasasi, tidak boleh menangani perkara yang pernah diputusnya saat di tingkat pertama,” tandasnya. (zul/rmol)
Redaktur: Hendra
Sumber :
=================================================================
Perumus UU Tipikor Kritisi Kejanggalan Kasus Suap Daging Sapi
Pakar hukum Prof Romli Atmasasmita menilai kasus suap dalam pengurusan kuota impor daging sapi yang bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lemah dari sisi korupsi. Menurutnya, unsur memperdagangkan pengaruh (trading influences) yang dituduhkan pada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, sebenarnya belum diatur dalam pasal-pasal di Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Berbicara dalam sebuah diskusi bertema “Mengkritisi Kasus Suap Impor Sapi” di JW Luwansa Hotel Jakarta, Sabtu (5/10), Romli menuturkan, ada kerancuan dalam surat dakwaan jaksa KPK karena menempatkan Luthfi sebagai Presiden PKS yang berupaya mempengaruhi Menteri Pertanian (Mentan) Suswono untuk mengubah kuota impor daging sapi. Padahal, tidak ada ketentuan dalam UU Tipikor Pemberantasan Korupsi tentang memperdagangkan pengaruh.
“Jadi kalau kasus Luthfi itu trading influences, di mana nyambungnya? Kalau Luthfi dapat uang dari Fathanah, itu pun paling jauh kena gratifikasi,” ujar Romli dalam sebuah diskusi bertema “Mengkritisi Kasus Suap Impor Sapi” yang digelar di JW Luwansa Hotel Jakarta, Sabtu (5/10).
Lebih lanjut guru besar ilmu hukum di Universitas Padjadjaran Bandung itu mengatakan, kasus suap dalam UU Tipikor selalu menyangkut penyelenggara negara. Namun, Luthfi dalam surat dakwaan justru disebut sebagai Presiden PKS. Padahal, lanjut Romli, pihak yang bisa membuat kebijakan tentang kuota impor daging sapi adalah Mentan. Namun, Suswono sudah menyatakan bahwa tidak ada perubahan kuota impor termasuk untuk PT Indoguna Utama.
“Pertanyaannya sampai atau tidak (uang suap, red) ke Mentan? Trading influences belum diatur. Kecuali memang ada bukti bahwa uang itu untuk mempengaruhi kebijakan,” lanjutnya.
Mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum di Kementerian Hukum dan HAM yang pernah merumuskan UU Tipikor dan KPK itu bahkan menilai jerat korupsi untuk Ahmad Fathanah juga lemah. Sebab, Fathanah hanya sebagai perantara.
Romli menjelaskan, perantara tidak diatur dalam Konvensi PBB Tentang Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC). Meski Indonesia sudah meratifikasi UNCAC, namun pasal jual beli pengaruh maupun peran perantara juga tidak ada diatur dalam UU Tipikor. “Kasus Luthfi nggak masuk soal trading influences. Ini perluasan pasal 55 KUHP (perbuatan turut serta, red),” tegas Romli.
Bagaimana dengan dakwaan tentang pencucian uang? Romli mengatakan, harus ada pembuktian kejahatan korupsinya terlebih dulu baru digunakan pasal pencucian uangnya. “Logikanya, bagaimana mau cuci baju kalau bajunya saja belum ada?” kata Romli membuat perumpamaan.
Karenanya Romli mengaku heran dengan langkah KPK yang bergerak cekatan menjerat Luthfi setelah menangkap Fathanah. Sebab, sebenarnya kasus suap itu bukanlah tangkap tangan. “Saya melihatnya ada kecerobohan KPK. Kenapa KPK yang biasanya hati-hati jadi terburu-buru?” pungkasnya. (ara/jpnn)
Redaktur: Hendra
Sumber :