Sabtu, 16 Maret 2024

Aturan Pembatasan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla Bertolak Belakang dengan Prinsip Toleransi


Jakarta (11/03) — Anggota DPR RI Komisi 8 dari Fraksi PKS Surahman Hidayat menyesalkan pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menyoal kembali Surat Edaran (SE) Menteri Agama No 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, yang isinya merupakan pembatasan penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala.

Menurut Surahman yang merupakan politisi senior pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Agama saat kaum Muslimin menyambut datangnya bulan Ramadhan.

“Bulan Ramadhan adalah saat dimana umat Islam giat menyemarakan masjid dan musala dengan berbagai kegiatan ibadah, seperti shalat tarawih, ceramah, tadarrus Al-Quran dan ibadah lainnya”, jelasnya

Lebih lanjut Surahman menjelaskan bahwa aturan pembatasan penggunaan pengeras suara masjid dan musala ini bertolak belakang dengan prinsip-prinsip toleransi yang selama ini dipegang teguh oleh umat Islam dan umat-umat lain dalam menjalankan ibadah mereka. Toleransi di antara mereka sudah berjalan dengan baik sejak dulu dan tidak ada masalah.

“Pembatasan pengeras suara di masjid tidak bisa diberlakukan secara umum, sebab terdapat jenis-jenis ibadah yang merupakan syiar yang harus terdengar, seperti adzan sebagai penanda masuknya waktu shalat dan panggilan kepada kaum muslimin untuk shalat berjamaah di masjid-masjid,” ungkap Surahman lagi

Juga seperti bacaan imam, atau nasihat para khatib, atau penceramah di masjid yang jamaahnya banyak hingga tumpah ruah sampai keluar masjid, penggunaan pengeras suara luar yang terdengar hingga keluar masjid menjadi sebuah kemestian.

Anggota Komis 8 yang membidangi masalah keagamaan ini melanjutkan penjelasannya, Penggunaan pengeras suara sudah merupakan tradisi yang berlaku sejak lama, yaitu sejak masa penjajahan, masa orla, orba hingga masa reformasi saat ini dan tidak ada yang mempermasalahkannya. 

Yang demikian itu disebut sebagai al-urful jari, atau urful aam, yaitu adat yang berlaku umum.” Ungkapnya

Surahman mengutip pandangan para ulama yang menyatakan bahwa, sesuatu yang dipandang baik secara adat, ia merupakan sesuatu yang disyaratkan menurut syariat. Sehingga pembatasan atau pelarangan terhadap adat tersebut dipandang sebagai sebuah kemungkaran.

Pembatasan pengeras suara tegas Surahman tidak selaras dengan nilai-nilai toleransi beragama, dimana nilai toleransi mencakup:

Tasamuh
yaitu saling memberi pengakuan, memberi kelonggaran dan kebolehan, maka pembatasan terhadap adat yang berlaku, dalam hal ini penggunaan pengeras suara di masjid-masjid merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip toleransi. 

Seharusnya Kemenag berdialog dengan FKUB mengenai masalah ini dan tidak terpaku kepada penggunaan otoritas sebagai penguasa.

Tidak Tajawuz, 
tidak berlebihan, standarnya bisa diterima semua pihak. Kaum muslimin sudah memahami kapan mereka boleh menggunakan pengeras suara sehingga tidak mengganggu aktifitas dan waktu istirahat mayoritas Masyarakat.

Takarrum, penghormatan, 
mendahulukan kelapangan dada walau merasa sedikit ketidaknyamanan atas suara yang terdengar. Mungkin ada sedikit tidak kenyamanan, tapi mereka yang tidak beragama Islam bisa menerima dan memakluminya.

Di beberapa negara yang merupakan negara non-muslim saja, di zona-zona tertentu dimana kaum muslimin merupakan mayoritas tidak ada pembatas penggunaan pengeras suara, seperti Singapura demikian juga di Amerika.

“Oleh karena itu tidak sepatutnya di Indonesia diberlakukan pembatasan pengeras suara di masjid dan musala. Adapun untuk wilayah-wilayah yang minoritas muslim maka sebaiknya sudah Kemenag berdialog dan berdiskusi dengan MUI dan FKUB sebelum mengeluarkan aturan pembatasan ini.” Tutup Surahman

Sumber :