Kamis, 13 November 2025

Ledia Hanifa Ingatkan Guru BK Memantau Perkembangan Non Akademis Siswa


Jakarta (13/11) — Menanggapi kasus perundungan (bullying) yang semakin banyak terjadi akhir-akhir ini, anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menyebutkan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam mencegah tindak perundungan di lingkungan pendidikan, baik sesama siswa, guru, orangtua bahkan anggota masyarakat.

Menurut Ledia, perundungan tidak bisa hilang 100% karena adanya dinamika sosial antara individu maupun respon terhadap lingkungan. Namun perundungan tetap bisa dicegah dan diminimalisir apalagi di dunia pendidikan.

“Kalau bicara perundungan, memang tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial manusia. Dalam setiap lingkungan sosial, pasti ada dinamika hubungan antarindividu yang bisa memunculkan perilaku seperti itu,” ujar Ledia. Karena itu ia menegaskan guru maupun orangtua perlu memahami akar masalah perundungan bukan untuk membenarkannya, melainkan sebagai langkah awal untuk mencegahnya.

Sekretaris Fraksi PKS ini menyatakan di sekolah guru memiliki peran utama dalam mencegah terjadinya kasus perundungan di sekolah. Baik guru secara umum dan terlebih lagi guru BK (bimbingan konseling).

“Guru BK semestinya memiliki program atau metode untuk memantau perkembangan siswa secara non akademis, baik dalam hal minat, bakat termasuk perilaku. Jadi guru BK benar-benar bisa memberi bimbingan konseling, baik saat diminta siswa maupun ketika melihat ada perubahan sikap atau perilaku siswa.”

Itu sebabnya Ledia juga berharap guru BK tersedia pada setiap sekolah mulai dari level pendidikan dasar atau sekolah SD. Menurutnya fungsi guru BK harus kembali sebagai pembimbing konseling, bukan seperti yang selama ini dikesankan sebagai “polisi”.

“Kalau dipanggil guru BK itu sepertinya ada kesalahan, mau dihukum. Padahal guru BK itu seharusnya bisa memantau perkembangan non akademis siswa, bisa memberikan saran dan masukan terkait arah rencana kelanjutan pendidikan termasuk mengantisipasi kalau ada siswa yang mengalami perubahan sikap atau perilaku.”

Ledia mencontohkan di salah satu sekolah yang pernah dikunjunginya di dapil diceritakan kepala sekolah bahwa ada anak yang suka diolok-olok temannya karena nampak “paling lemot”. Beruntung ada guru yang memperhatikan dan sigap menangani sehingga lewat penanganan khusus diketahui bahwa anak tersebut memang memiliki gangguan kelambatan belajar.

Dari kejadian tersebut, guru yang sigap melihat perkembangan siswa membantu anak tersebut untuk mendapat bantuan pembelajaran khusus disamping melakukan upaya menghentikan olok-olok pada sang anak dari siswa-siswa lain. Jadi guru tidak hanya perlu mendampingi korban, tetapi juga pelaku, agar keduanya memahami dampak perilaku yang terjadi.

“Guru harus punya kemampuan untuk mendampingi dua-duanya, baik korban maupun pelaku perundungan. Keduanya sama-sama perlu dipahami. Korban butuh pemulihan, pelaku butuh diarahkan supaya tidak mengulangi,” tegas Ledia.

Meski kedua pihak harus didampingi, Ledia menekankan bahwa perundungan tidak boleh dianggap hal yang wajar. Tindakan kekerasan, baik fisik maupun verbal, harus tetap ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku. 

“Bahkan kalau sudah masuk pada ranah kekerasan, itu bukan lagi sekadar perundungan, tapi pelanggaran yang perlu ditangani lebih serius. Bahkan bisa masuk ke ranah pidana. Maka sekolah dan pihak berwenang perlu memastikan adanya tindak lanjut dari kasus kekerasan,” jelasnya.

Selain guru, aleg dari dapil Kota Bandung dan Kota Cimahi ini juga menyoroti pentingnya peran orang dewasa di sekitar anak-anak, seperti tenaga kependidikan, orang tua, keluarga, dan masyarakat, dalam memberikan contoh perilaku positif. 

Sebab menurutnya kita kerap terkejut dengan aksi perundungan yang dilakukan oleh anak sekolah tetapi lupa bahwa dalam banyak tayangan, bahkan dalam perilaku sehari-hari orang dewasa nampak terbiasa mengejek, merendahkan maupun berkata kasar pada pihak lain yang nampak berbeda atau tidak disukai.

“Anak-anak itu kan meniru dari apa yang mereka lihat. Kalau orang dewasa di sekitarnya bisa mencontohkan sikap empati dan menghargai perbedaan, bagaimana bertutur kata yang baik, bagaimana bercanda tanpa menyakiti perasaan, maka anak-anak pun akan belajar hal yang sama,” ujarnya.

Untuk itu, Ledia pun mendorong peningkatan kapasitas guru dan orang dewasa di lingkungan pendidikan agar lebih peka terhadap tanda-tanda perundungan serta mampu merespons dengan pendekatan empatik. 

“Guru dan orang dewasa di sekolah perlu dilatih agar tahu bagaimana merespons dengan tepat. Jangan menyalahkan, tapi juga jangan membiarkan kasus perundungan. Pendekatannya harus dengan empati,” tambahnya.

Terakhir Ledia mengajak semua pihak bersama-sama membangun ruang belajar yang aman, inklusif, serta berorientasi pada kesetaraan peserta didik.

“Sekolah harus jadi tempat bertumbuh yang bebas dari kekerasan. Keluarga harus menjadi tempat pertama tumbuhnya contoh baik dalam bergaul, masyarakat harus membiasakan diri mencegah potensi perundungan terjadi dalam interaksi dengan sesama, sementara Pemerintah harus mendorong iklim positip yang meminimalisir perundungan dan kekerasan lewat regulasi dan penegakan hukum. Masing-masing pihak punya peran untuk memastikan itu terjadi,” tutupnya.

Sumber :