Surabaya. Anggota Komisi V DPR RI DPRD Jawa Timur Sigit Sosiantomo menilai adanya kejanggalan dalam kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501.
Dia mengungkapkan, sebenarnya pesawat Air Asia QZ8501 sudah dapat diidentifikasi dari GPS pesawat di posisi 03 22 15 s-109 41 28 E pada ketinggian 32.000 feet.
Namun, Sigit mengatakan, yang menjadi permasalahannya adalah setelah lost contact pada posisi tersebut, tidak diketahui ke arah mana pesawat QZ 8501 bergerak. Hal ini, tambah Sigit, karena sinyal Emergency Located Transmitter (ELT) tidak bisa ditangkap, baik oleh pusat SAR Indonesia, Singapura, Malaysia maupun Australia.
Legislator yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Timur I yang meliputi Kota Surabaya dan Sidoarjo ini juga mengaku sempat mengunjungi para keluarga penumpang AirAsia, setelah itu ia membandingkan kecelakaan QZ 8501 dengan kejadian Sukhoi yang menabrak Gunung Salak di Jawa Barat, 2012 silam.
Saat itu, ELT-nya juga tidak terdeteksi. Karena itu, dia juga menanyakan masalah ELT ini kepada pejabat Bagian Kelaikan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
“Mereka mengatakan, program maintenance pesawat QZ8501, termasuk peralatan dan kelayakan terbang, rutin dilakukan dan pesawat itu harus masuk lagi maintenance program pada pertengahan 2015,” tuturnya.
Anggota Komisi yang membidangi seputar Perhubungan, Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat, Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Tertinggal, Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika ini juga menambahkan, ada second opinion mengenai kelaikan terbang pesawat AirAsia itu, yakni dari anggota Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT).
Anggota KNKT, lanjut Sigit, menerangkan bahwa banyak perusahaan minyak dan gas yang merekomendasikan karyawannya naik pesawat AirAsia karena termasuk salah satu penerbangan paling aman, apalagi rata-rata pesawatnya masih baru.
Pesawat bernomor penerbangan QZ 8501, misalnya, merupakan jenis Airbus 320-200 produksi tahun 2008. Lalu, mengapa pesawat bisa kehilangan kontak dan ELT-nya tidak terdeteksi?
Lebih lanjut Sigit menambahkan, pihak BMKG, ATC dan otoritas bandara juga selalu memberikan informasi mengenai prediksi cuaca di jalur penerbangan beberapa saat sebelum pilot menerbangkan pesawat. Pilot pun harus melapor balik tujuan rencana penerbangannya.
“Artinya, informasi cuaca secara real time sudah di tangan pilot. Belum lagi peralatan-peralatan canggih pesawat pasti sudah memberi informasi rinci tentang cuaca saat terbang,” paparnya.
Selain itu, pilot QZ 8501 tergolong pilot senior karena tercatat sudah memiliki lebih dari 20.000 jam terbang.
“Lalu, mengapa kok sampai terjebak cuaca buruk dan kemungkinan diduga jatuh saat di posisi 03 22 15 S-109 41 28 E yang didahului lost contact. Ini yang misteri,” ujarnya.
Sigit juga mencoba bertanya kepada para ahli di BMKG pusat maupun daerah. “Kebetulan yang nyambung adalah ahli-ahli cuaca atau awan di BMKG. Jawaban dia, kemungkinan penyebab lost contact QZ8501 itu, pertama pilot memaksakan menerobos Cb (awan Comulusnimbus) skala luas yang puncak awannya diperkirakan 45.000 feet dengan suhu -60 derajat Celcius,” jelasnya.
Sementara selain itu, kemungkinan kedua yakni, jika melihat kondisi awan Cb EMBD (lebih dari satu awnl Cb disertai awan lain, pilot seharusnya memutuskan untuk menuju bandara alternatif yang memungkinkan terjangkau atau kembali untuk menunda perjalanan.
“Ini misteri lainnya, pilotnya hebat, pesawatnya canggih tapi kok lost contact,” ungkapnya.
Sigit kembali teringat peristiwa Sukhoi yang menabrak Gunung Salak.
“Saat itu, pilotnya berpengalaman, pesawatnya juga top tetapi menabrak gunung dan sulit dicari karena alat-alat emergencynya tidak nyala,”
pungkas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu. (abr/dakwatuna)
Sumber :