Tiga kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dasar-Menengah terkesan ngawur dan tidak melalui analisis serta kajian yang mendalam.
Yaitu, menghentikan pemberlakukan kurikulum 2013, mengajak investor asing membangun SMK dan mengganti buku pelajaran yang menggunakan kertas dengan electronic book atau disebut E-Sabak.
Penilaian itu disampaikan Sekretaris Bidang Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah, Muhammad Abrar Parinduri, dalam keterangannya pagi ini, Sabtu, 17 Januari 2015.
Menurutnya, tiga kebijakan Kemendikbud tersebut secara sepintas dirasakan berpihak kepada kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan.
"Tetapi jika dikaji lebih jauh justru kebijakan-kebijakan tersebut membawa dunia pendidikan Indonesia pada situasi yang tidak menentu dan pudarnya nilai-nilai luhur pendidikan yang telah ditanamkan para the founding father pendidikan Indonesia," jelasnya.
Soal penghentian pemberlakukan kurikulum 2013, dia menilai, Menteri Anies Baswedan tak mengerti bahwa secara tidak langsung turut membiarkan terjadinya kerusakan moral dan kebangkrutan akhlak para pelajar.
Karena munculnya kurikulum 2013 berangkat dari kegelisahan orangtua dan stake holders pendidikan terhadap maraknya kasus kekerasan seperti tawuran, narkoba dan perbuatan asusila di kalangan pelajar.
"Terbentuknya pendidikan karakter yang baik dalam diri pelajar adalah mainstream dalam pemberlakuan kurikulum 2013," tegasnya.
Sementara soal pelibatan investor asing dalam pembangunan SMK, Abrar juga menekankan, bertentangan dengan semangat nasionalisme kebangsaan.
Pasalnya, Indonesia memiliki banyak pengusaha pribumi yang masih punya komitmen tinggi terhadap kemajuan negara khususnya dalam bidang pendidikan. Disamping itu dana CSR yang berasal dari BUMN juga sangat memungkinkan untuk pembangunan SMK di berbagai daerah.
"Yang dibutuhkan sebenarnya bukan investor asing akan tetapi optimalisasi dan pengawasan terhadap APBN dan APBD agar tepat guna dan tepat sasaran," imbuhnya.
Terakhir, terkait program E-Sabak (tablet). Dia menjelaskan, tujuan utama dari program ini adalah mengganti buku pelajaran yang semula dalam bentuk kertas menjadi buku elektronik.
Perangkat utama yang dibutuhkan dalam program ini adalah listrik dan tablet. Padahal, di daerah-daerah pedalaman Indonesia masih banyak masyarakat yang tidak menikmati aliran listrik.
Apalagi dia mengungkapkan, pelajar yang tinggal di daerah pedalaman lebih mengutamakan bertahan hidup daripada memperbaiki tablet yang rusak.
"Bertahan hidup di daerah pedalaman bukanlah hal yang mudah. Karena semuanya serba mahal. Sebaiknya Anies mengkaji ulang atau membatalkan program E-Sabak tersebut," demikian dosen Ilmu Pendidikan Universitas Ibnu Chaldun Jakarta ini. [rmol]
Sumber :