Rabu, 23 Juli 2025

Soroti Ketimpangan Tata Ruang dan Konflik Agraria di Kawasan Hutan, Muh Haris : Negara Harus Hadir untuk Masyarakat



Jakarta (23/07) — Anggota Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Muh Haris, menegaskan pentingnya penataan ulang tata ruang dan penyelesaian konflik agraria yang melibatkan ribuan desa yang secara administratif berada di dalam kawasan hutan negara. 

Hal ini disampaikannya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Desa Masuk Kawasan Hutan: Menata Ulang Tata Ruang dan Keadilan Agraria’ yang digelar BAM DPR RI di Jakarta, 22–23 Juli 2025.

Menurut Haris, konflik agraria yang terjadi akibat tumpang tindih antara kawasan hutan dan pemukiman masyarakat merupakan bom waktu yang harus segera diselesaikan negara.

“Ada lebih dari 20.000 desa yang masuk dalam kawasan hutan. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi menyangkut nasib jutaan rakyat, keadilan agraria, dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.

Haris menyoroti kasus di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau, di mana ribuan masyarakat—termasuk transmigran dan penduduk lokal—terancam tergusur akibat penertiban kawasan pasca terbitnya Perpres No. 5 Tahun 2025.

“Kita tidak bisa bicara penertiban semata tanpa menyelesaikan akar persoalan tata batas, kepemilikan legal seperti SHM, hingga akses pendidikan dan kesehatan yang juga ikut terdampak,” jelasnya.

Selain itu, Haris juga menyinggung persoalan serupa di Desa Sukawangi, Bogor, yang telah eksis sejak 1950-an namun diklaim sebagai bagian dari kawasan hutan Hambalang Barat.

“Ini ironis. Negara sendiri yang menetapkan desa, membangun sekolah, puskesmas, lalu tiba-tiba menganggap wilayah tersebut hutan negara. Ketidakselarasan antar instansi pusat dan daerah inilah yang memperkeruh konflik,” tegasnya.

Sebagai anggota legislatif, Haris menekankan peran pengawasan DPR dalam memastikan negara tidak semena-mena terhadap rakyatnya. Ia mendorong agar rekomendasi dari FGD ini ditindaklanjuti menjadi kebijakan yang adil dan implementatif.

“Negara hukum harus hadir dengan melindungi rakyatnya, bukan justru membuat rakyat hidup dalam ketidakpastian,” tutup Haris.

FGD ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Desa, ATR/BPN, Kemenakertrans, Komnas HAM, WALHI, hingga perwakilan masyarakat terdampak. Diharapkan, forum ini menjadi pijakan konkret dalam membangun tata ruang yang berpihak kepada keadilan sosial dan lingkungan berkelanjutan.

Sumber :