Rabu, 25 Agustus 2021

Sekretaris FPKS: Pemerintah Harus Pastikan Pelindungan Keamanan dan Kehalalan Barang E-Commerce


Jakarta (25/08) — Pengesahan RUU Tentang Persetujuan ASEAN tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menjadi Undang-Undang sudah di ambang pintu. Kegiatan perdagangan antar negara di ASEAN kelak akan menjadi lebih terbuka, mudah dan murah.

Meski demikian, seraya berharap agar produk Indonesia dapat lebih luas beredar di kancah internasional, Sekretaris Fraksi PKS DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah mengingatkan Pemerintah untuk terus memastikan pelindungan keamanan dan kehalalan produk bagi konsumen muslim Indonesia.

“Rencana pengesahan RUU ini boleh dikatakan merupakan satu keniscayaan mengingat pola perdagangan di era digital saat ini. Namun tak boleh dilupakan bahwa konsumen muslim di Indonesia berhak atas produk yang halal dan pemerintah berkewajiban untuk memberikan pelindungan tersebut,” kata Ledia

Ledia menambahkan, rencana ratifikasi Undang-Undang Tentang Persetujuan ASEAN tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik memang membawa angin segar bagi kegiatan ekonomi masyarakat.

“Lewat transaksi elektronik perdagangan antar negara, menjadi lebih mudah, cepat dan relatif murah. Namun kegiatan perdagangan berbasis transaksi elektronik juga memiliki beberapa titik rawan yang harus diwaspadai, diantaranya soal keamanan data pribadi, keamanan transaksi keuangan, kualitas produk serta faktor kehalalan produk,” ujarnya.

Secara umum, imbuh Ledia, pelindungan bagi masyarakat Indonesia atas barang-barang yang masuk dari luar negeri tertuang dalam beberapa regulasi. Salah satunya termuat dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 30 tahun 2017 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke Dalam Wilayah Indonesia.

“Peraturan BPOM ini menetapkan dengan cukup rinci bahwa setiap produk makanan, minuman dan obat-obatan (termasuk kosmetika) yang akan masuk dan beredar di wilayah Indonesia harus memenuhi syarat dan ketentuan baik dari sisi kualitas barang maupun izin administratif,” terangnya.

Sementara, kata Ledia, pelindungan bagi masyarakat terkait kehalalan produk tercantum dalam Pasal 4 Undang-undang No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang bunyinya: ‘Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal’.

“Alhamdulillah dari sisi tata aturan yang ada secara umum masyarakat sudah memiliki dasar pelindungan dari kemungkinan mendapatkan produk yang tidak aman maupun tidak halal. Setiap importir harus memastikan bahwa produk yang akan mereka edarkan bagi konsumen di Indonesia harus memenuhi standar keamanan dan kehalalan produk. 

Persoalannya adalah bagaimana kemudian pemerintah bisa memastikan pengawasan dan implementasi hukum di lapangannya berjalan baik. Apalagi kalau transaksinya via e-commerce yang bersifat langsung dari produsen atau reseller kepada end user” kata mantan Ketua Panja RUU Jaminan Produk Halal Tahun 2015 ini.

Perkembangan e-commerce yang begitu pesat, lanjut Ledia, memang telah banyak mengubah pola peredaran barang dari produsen ke konsumen. Melalui transaksi elektronik kini menjadi hal yang umum dan jamak bila seorang konsumen bisa membeli barang langsung dari produsen maupun reseller yang berada di luar negeri.

“Satu barang yang sedang hits atau hype, kata anak sekarang, namun secara resmi belum masuk ke Indonesia bisa tetap dengan mudah diperoleh lewat transaksi e-commerce. Nungguin satu serum wajah, suplemen atau sepotong cokelat masuk secara resmi ke Indonesia jelas akan makan waktu lama karena membutuhkan persyaratan legal administratif yang cukup rumit dan panjang, karena itu banyak konsumen memilih beli langsung sebotol serum ke reseller di luar negeri via e-commerce. Klak-klik, bayar, beres,” kata Ledia mencontohkan

Persoalannya kemudian kata Aleg Dapil Kota Bandung dan Kota Cimahi ini, karena masuk lewat transaksi elektronik ada satu step proses peredaran barang yang sulit dikontrol, yaitu memastikan pelindungan keamanan dan kehalalan ini terus terawasi.

“Karena tidak secara resmi masuk dan mendapat registrasi dari kementrian perdagangan juga BPOM maka barang-barang yang diperoleh dari transaksi elektronik atau e-commerce ini berpotensi tidak jelas kualitas produk, keamanan dan apalagi kehalalannya,” kata Ledia.

“Khusus soal kehalalan produk menjadi sangat sangat rawan karena sampai saat ini belum ada peraturan turunan dari UU Jaminan Produk Halal yang menjabarkan detil syarat, ketentuan dan standar kehalalan atas produk yang akan masuk ke Indonesia dan juga syarat serta standar kehalalan ini belum tercantum di dalam peraturan menteri perdagangan maupun peraturan BPOM yang mengatur soal barang impor.” imbuhnya.

Karenanya, Ledia meminta pemerintah untuk bisa membuat sebuah ketentuan, rambu-rambu, standar atau regulasi khusus atas barang-barang yang akan masuk ke Indonesia agar meskipun alur perdagangan produk secara e-commerce ini dipermudah konsumen bisa tetap terlindungi baik dari sisi kualitas produk, keamanan dan juga kehalalannya.

“Kemudahan transaksi perdagangan elektronik ini memang seolah menjadi tanggung jawab pribadi antara penjual dan pembeli. Namun tetap merupakan tanggungjawab pemerintah untuk memastikan produk-produk yang masuk ke Indonesia, baik yang dibeli dalam jumlah besar untuk diperdagangkan kembali maupun pembelian skala kecil untuk pemakaian pribadi.”

Tanpa kesigapan Pemerintah memastikan pelindungan keamanan dan kehalalan atas barang yang masuk ke Indonesia, Ledia khawatir pasar Indonesia bisa dibanjiri produk-produk yang memiliki kualitas rendah, tidak aman dan tidak halal.

“Dalam cara pandang yang jauh ke depan, kita harus menghindari hal ini. Kualitas barang yang buruk dan apalagi barang yang tidak halal, bagi masyarakat muslim akan memunculkan efek negatif dan ketidakberkahan. Karenanya sejak dini harus ada upaya untuk menghindarinya” tutup Ledia.

Sumber :