Sabtu, 11 Juli 2020

ENGKONG

Ahmad Mabruri

Ketemu pertama kali sekitar 1986-an kalau tak salah. Waktu itu nyupirin murobbi ke puncak Cisarua naik Daihatsu Hijet 1000 punya babe saya. Karena sudah larut malam saya ikut nginep di sebuah villa yang dipakai acara.

Paginya ikut nimbrung sarapan dan berjumpalah dengan sosok Engkong, panggilan khas ustadz Hilmi Aminuddin. Orangnya ramah dan selalu tampak tersenyum. Engkong ini murobbinya murobbi saya. Saat itu lagi acara rihlah 'keluarga' murobbi. Jadi saya tahu siapa-siapa saja temen murobbi. Oh, ternyata bang fulan, bang fulan dan bang fulan serta bang fulan... 😄

Tak banyak interaksi saya dengan engkong. Hanya sebatas itu. Selebihnya hanya materi materi engkong yang saya terima lewat sanad murobbi. Materi keislaman khas. Ringkas, padat, to the point dan langsung menghujam ke dalam dada. 

Perasaan kalau abis dikasih materi yang banyak panah-panahnya itu iman saya bertambah berkali lipat. Semangat jihad meluap-luap. Badan gak kerasa capek dan siap diperintah kemana aja untuk dakwah! Dahsyat benar memang racikan materi yang dibikin engkong. Kental bumbu tauhidnya dan pas takaran fikrahnya. Tidak terlalu keras tapi gak lembek juga. Bikin nagih!

Waktu engkong pindah rumah ke daerah Kali Malang kita 'mengubah' panggilan engkong jadi ustadz Kamal. Entah siapa yang kreatif bikin singkatan ini. Ustadz Kamal kependekan Kali Malang. Jadi kita kalau mau acara ke rumah engkong bilangnya mau ke ustadz Kamal. 

Kenapa mesti pakai kode-kode segala sih? Yah, jaman itu aktivitas dakwah Islam yang ada bau bau politiknya masih terus diawasi. Tidak seperti sekarang yang sudah semakin kondusif. Jadi kode itu penting.

Ingatan yang kuat saat di Kali Malang adalah ketika di belakang rumah ustadz Kamal dibikin kandang kambing dan sapi buat penjualan hewan qurban. Para da'i sejatinya adalah pengembala. Nah, mengembala kambing dan sapi dalam waktu tertentu adalah praktik langsung dakwah. 

Sanggup tidak merawat gembalaannya dengan baik. Terus tumbuh dan membawa manfaat. Tugas saya saat itu di mencari daun nangka buat makanan hewan dan mengantar kambing serta sapi ke pembeli.

Pas hari ied saya tugas antar sapi ke UNJ dulu namanya IKIP Rawamangun. Pesannya sebelum sholat ied sapi harus sudah sampai. Maka berdua dengan kawan saya tancap gas bawa sapi naik colt 300 pick up. Dasar emang tukang ngebut. 

Di perempatan Utan Kayu-Rawamangun mobil berbelok dengan kecepatan tinggi. Walhasil sapi terlempar keluar dengan indahnya. Dalam kondisi leher masih terikat di mobil. Panik? Ya iya lah! Bagaimana menyelamatkan sapi yang setengah badannya ada di aspal dan lehernya terikat di mobil? Kebayang kan? Alhamdulillah singkat cerita sapi itu selamat. 

Dari perempatan lampu merah hijau, sapi dituntun dengan tali sampai ke UNJ. Ada lecet dikit di bagian badannya. Tapi empat kakinya masih kokoh. Tak ada yang patah. Masih sanggup berjalan ke tempat tujuan. Merawat dakwah memang tak mudah. Perlu kehati-hatian dan tak keburu ingin sampai tujuan.

Ustad Kamal ini beda dengan ulama lainnya. Biasanya lulusan universitas Madinah pulang ke Indonesia bikin pesantren. Tapi ustadz Kamal malah bikin partai. Dan biasanya orang bikin partai pengen jadi ketuanya. Ustadz Kamal tidak. 

Dia tetap menempatkan diri sebagai murobbi. Menjaga, merawat, mengarahkan para muridnya agar selalu berada di jalan yang benar. Beda kan kalau ada ustadz yang dirikan partai tapi dia harus jadi ketuanya. 😆

Terakhir saya mengunjungi ustadz Hilmi 11 Maret 2020. Beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan secara resmi pasien covid-19 ke publik. Bersama beberapa kawan kita sudah stand by dengan 2 kamera dan peralatan lainnya. Setting tempat sudah dirancang. Tempat duduk dibikin nyaman biar ustadz betah selama shooting nanti. 

Rencana kita mau bikin film perjalanan dakwah beliau. Daftar pertanyaan sudah kami kirim beberapa pekan sebelumnya. Berharap nanti ustadz sudah mendapat gambaran apa yang akan diceritakan pada kami.

Setelah lebih dari satu jam menunggu akhirnya ustadz keluar. Kami dapat kabar ustadz kurang sehat pagi itu. Dan benar saja, ustadz keluar menemui kami dengan wajah yang pucat. Senyum dan sapa ramah yang biasanya dipancarkan tak terlihat. Ustad seperti menahan sakit. 

Di pertemuan singkat itu ustadz Hilmi tak berucap sepatah kata. Hanya memandang kami dengan tatapan yang membikin kami iba. Akhirnya kami pamit. Mendoakan ustadz agar segera pulih. Dan berharap di lain waktu saat ustadz Hilmi bertambah sehat kami dapat wawancara untuk bahan pembuatan film perjalanan dakwah.

30 Juni 2020 kemarin saat saya menuju kantor DPP PKS dari Bogor karena dipanggil presiden kang Sohibul Iman, rupanya Allah telah memanggil kekasihnya ustadz Hilmi. Pas adzan ashar saya sampai markas dakwah. Parkir mobil dan mengeluarkan hape dari kantong celana bereliweranlah berita duka wafatnya ust Hilmi di semua grup whatsapp.

Badan terasa lemas. Masih belum percaya ustadz Hilmi telah tiada. Terbayang saat 11 maret lalu jumpa terakhir kali. Ingin merangkai cerita. Membuat kepingan mozaik dakwah yang beliau susun menjadi sebuah gambar indah. 

Tapi rencana belum terlaksana. Daftar pertanyaan yang sudah saya susun belum sempat terjawab. Belum sempat direkam dengan kamera hi res dan latar bukit pagerwangi di pegunungan Lembang.

Selamat jalan ustadz. Insyaallah saya nyusul.

Sumber :