Kamis, 23 Juli 2020

Komisi B Dalami Status Kepemilikan HGB Asahimas Atas Lahan di Ancol



Jakarta – Komisi B DPRD DKI Jakarta mengaku masih mendalami status kepemilikan Hak Guna Bangun (HGB) PT Asahimas Flat Glass di Kawasan Ancol Barat yang akan dibangun depo kereta MRT Jakarta fase II di atasnya.

Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PKS Abdul Aziz mengatakan tujuh HGB Asahimas di atas lahan yang dimiliki PT Pembangunan Jaya Ancol itu, paling cepat akan habis masa berlakunya pada 2022 mendatang.

“Dari tujuh sertifikat itu ada yang habis tahun 2029, 2022 dan sebagainya, makanya saat rapat tadi, kami menanyakan apakah semua (tujuh HGB) ini sudah diperpanjang apa belum,” kata Aziz usai rapat kerja dengan Pemprov DKI Jakarta dan empat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Rabu (22/7/2020).

Dari rapat dengan PT MRT Jakarta, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan PT Bank DKI tersebut, Aziz mengatakan terungkap PT Jakpro mengantongi tiga sertifikat HGB seluas 29.082 meter persegi sejak 2017 lalu.

Karenanya, kata Aziz, Komisi B juga mengusulkan jika ternyata masa berlakunya habis atau hampir habis, tujuh sertifikat HGB tersebut tidak perlu diperpanjang lagi dan Pemprov DKI diminta menghentikan kerja samanya.

Selain itu, lokasi lahan di sana cenderung kosong, karena pabrik Asahimas sudah dipindah ke wilayah Cikarang, Kabupaten Bekasi sekitar 2016 lalu.

“Karena sekarang kosong, kami mendorong agar tidak diperpanjang. Kalau HGB itu sudah diperpanjang, malah menjadi haknya Asahimas lagi untuk menggunakannya,” ujar Aziz.

Meski demikian, dalam rapat itu, Komisi B belum mendapat kepastian soal masa status HGB tersebut dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta. Alasannya, dinas terkait akan mengecek kembali dokumen yang sudah dia terbitkan tersebut.

“Itu kan masih ngambang (belum jelas statusnya). Jadi harus ada kejelasan mengenai status HGB nya dulu, jangan sampai kita bangun ternyata kita harus bayar (kompensasi) ke Asahimas karena itu masih hak mereka,” ujarnya.

Menurutnya, pembahasan mengenai status HGB dan HPL ini untuk menghindari adanya kesalahan dalam proses administrasi dan keuangan. Jangan sampai, Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan anggaran hanya untuk ‘membayar’ lahannya sendiri.

“Kalau sampai begitu (membayar), dalam hal ini Pemda DKI justru akan dirugikan karena sebenarnya milik Pemda DKI sendiri. Justru kalau bisa kita tarik (HGB), yah ditarik karena akan digunakan untuk depo,” ucapnya.

Aziz menjelaskan, dari 10 HGB di sana tercatat ada satu lokasi yang memiliki lahan paling luas sekitar 93.970 meter persegi dengan masa berlaku sampai 2022 mendatang. Sementara lahan yang paling kecil seluas 2.246 meter persegi dengan masa berlaku sampai 2029.

“Kami akan terus kolaborasi sehingga jelas apa yang terjadi. Jangan sampai ini dijadikan permainan oleh oknum tertentu,” ucapnya.

Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA), Teuku Sahir mengatakan, total luas lahan di Ancol Barat yang disampaikan PT MRT mencapai 43 hektar. Tercatat ada 10 sertifikat HGB yang ada di sana, dengan tujuh sertifikat di antaranya dimiliki Asahimas dan tiga sertifikat lagi dimiliki Jakpro.

Kata dia, lahan yang dimanfaatkan Asahimas saat ini merupakan lahan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) PJAA atas nama Pemprov DKI Jakarta. HPL itu dijadikan penyertaan modal daerah (PMD) DKI Jakarta dalam pembentukan PJAA, yang kemudian secara pengelolaannya diserahkan kepada PJAA.

“Prinsipnya kami dari Ancol (PJAA) mendukung program yang dibahas. Saya sampaikan 43 hektar, kurang lebih 3 hektar dimiliki oleh Jakpro dan 40 hektar dimiliki Asahimas,” ujar Teuku.

Sebelumnya, PT MRT Jakarta membutuhkan dana sekitar Rp 1,5 triliun untuk pembebasan lahan depo seluas 20 hektar di Ancol Barat, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara pada 2021 mendatang. Sedianya pembebasan lahan untuk trase II-B jurusan Kota-Ancol ini dilakukan pada 2020, namun terpaksa ditunda karena anggaran daerah diprioritaskan untuk penanganan COVID-19.

“Rencana tahun depan (pembebasan lahan) karena tahun ini boleh dikatakan tidak ada pendanaan dari pemda,” kata Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar usai rapat kerja dengan Komisi B DPRD DKI Jakarta pada Rabu (8/6).

William mengatakan, penetapan lahan untuk pembangunan depo trase II-B telah melalui studi kelayakan atau feasibility study (FS) oleh pihak konsultan. Dia berharap, dana untuk pembebasan lahan bisa dikucurkan pada tahun depan.

Soalnya Badan Kerja Sama Internasional Jepang atau Japan International Cooperation Agency (JICA) selaku pemberi pinjaman dana akan melakukan pengecekan lahan depo pada November 2020 mendatang. JICA juga mewajibkan MRT Jakarta supaya memiliki lahan depo untuk pembangunan trase MRT trase II-B.

Sumber: 
antaranews.com