Senin, 15 November 2021

Wedang Uwuh dan Kecendekiaan Dr Salim


Sang Doktor terlihat sangat memperhatikan saat Agung Laksmono bercerita tentang asal muasal wedang uwuh, minuman asli Jogja yang dulunya menjadi minuman kesukaan raja-raja Mataram. 

Bagi putra kelahiran Surakarta namun besar di Palu dan banyak mengenyam pendidikan di Timur Tengah, mengulik hal ihwal seni, budaya dan sejarah bisa menjadi keasyikan tersendiri sepertinya; di luar aktivitas politis dan amanahnya sebagai Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera.

"Jadi, uwuh itu artinya sampah ya? Filosofinya menarik. Dari 'sampah', ranting pohon, bisa menjadi minuman yang enak dan ada manfaatnya buat kesehatan," ujar beliau.

Sedikit perbincangan tentang sejarah dan budaya di Tembi Omah Budaya siang itu menjadi pelengkap setelah pertemuannya dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan menapaki jejak para ulama di Masjid Gede Kauman.

Alih-alih kunjungan dalam rangkaian agenda kepartaian, saya justru melihat sisi kecendekiaan yang kental dari sosok beliau. Dr. Salim Segaf Al Jufri.

Saya teringat pada apa yang disampaikan seorang cendekiawan muslim Quraish Shihab,“Cendekiawan itu orang yang menggabungkan dzikir dan fikir. Fikir, dalam bahasa al Qur`an diartikan mengorek, mengupas sesuatu hal yang tertuju pada alam materi, alam raya”. 

Versi Kamus Besar Bahasa Indonesia, cendekia ialah orang yang terus menerus meningkatan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui dan memahami sesuatu.

Dalam obrolan secangkir wedang uwuh saya semakin mengerti kenapa sebutan Doktor dipilih sebagai sebutan beliau dari gelar yang lain seperti Habib atau Ustadz. Tak elak lagi karena beliau adalah negawaran sekaligus cendekiawan, dengan kedalaman ilmu, keluasan wawasan, kebijakan sikap, ketajaman pemahaman dan kesungguhan untuk bisa memahami khasanah kebangsaan.

Ira Marsanti
Reli PKS DIY

Sumber :