Selasa, 14 Mei 2013

Mantan Mentan Anton Apriyantono Menjawab Tuduhan WikiLeaks




Dakwatuna.com – Situs pembocor dokumen rahasia, WikiLeaks kembali merilis kawat-kawat diplomatik dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di sejumlah negara. Termasuk Indonesia. Salah satu dokumen berjudul Indonesia’s Ministry of Agriculture: Anatomy of Failure atau “Kementerian Pertanian Indonesia: Anatomi Kegagalan”. Ditulis oleh seseorang bernama Pascoe–menurut penelusuran VIVAnews, Pascoe kemungkinan besar adalah Duta Besar AS untuk RI, B. Lynn Pascoe yang menjabat hingga tahun 2007. 
Mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono menjadi tokoh utama dalam kawat diplomatik itu. Ada sejumlah tuduhan yang mengarah pada kader PKS itu. Pertama, ia dituduh berlaku kejam pada stafnya. Beberapa staf senior digeser karena berkonflik dengan sang menteri. 

“Terkait posisi perempuan dalam kementerian atau keinginannya untuk menempatkan kader PKS di posisi penting,” demikian bunyi kawat Pascoe yang dibocorkan WikiLeaks. 
Menteri Anton juga dinilai mengutamakan orang-orang dari IPB, almamaternya dulu. Mayoritas keputusan untuk melibatkan orang-orang ini, bukan datang dari staf teknis Kementerian. 
Dugaan korupsi juga diarahkan pada pria kelahiran Serang ini. “Mereka mendapatkan uang terkait izin impor, ada cerita impor beras yang menguntungkan partai Wakil Presiden (Jusuf Kalla).” 
Juga, isu suap sebesar US$1,5 juta dari Monsanto pada Januari 2005. Dugaan lain, beberapa pejabat senior kementerian berusaha memberikan hak impor pada perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan PKS. 

“Meski sulit dibuktikan, rumor ini berasal dari pihak swasta dan pejabat kementerian yang non-PKS.” 
Tudingan lain, Anton menunda penjualan perkebunan karet Goodyear di Sumatera Utara ke Bridgestone. Alasannya, properti tersebut diprioritaskan untuk perusahaan nasional. Toh, akhirnya perkebunan itu tetap dibeli Bridgestone. 
AS juga menganggap Anton menyulitkan kebijakan perdagangan AS, misalnya akses pemasaran daging sapi dan bioteknologi. 
Dikonfirmasi soal segala tudingan AS, Anton tertawa. Ia mengaku heran, mengapa ada kawat diplomatik AS yang sumbernya tidak berdasarkan data. “Saya sayangkan informasi yang rendah kualitasnya, banyak salah, analisis keliru dan menilai tak berdasarkan fakta.” kata Anton saat dihubungi VIVAnews.com, Kamis, 25 Agustus 2011. 
Anton pun memberi penjelasan soal tudingan itu. Pertama soal kader PKS. “Di kementerian itu PNS, dan PNS dilarang menjadi anggota partai. Kalaupun ada simpatisan, itupun tidak banyak.” 
Ia juga mempertanyakan bagaimana bisa AS menilainya gagal, tanpa mengkonfirmasi penilaian masyarakat dan pihak lain. Padahal di bawah kepemimpinannya, Indonesia mencapai swasembada beras. “Analisa itu mungkin didasarkan kepentingan AS,” kata dia. 
Anton mengaku, di masa kepemimpinannya dia memang pernah berbenturan dengan kepentingan AS. “Misalnya soal flu burung dan apel AS yang tidak bisa masuk.” 
Untuk flu burung, Anton menjelaskan, saat itu dia tidak mau ditakut-takuti asing agar membeli vaksin flu burung yang mahal dalam jumlah besar. “Saya rasional, tak perlu panik. Kita memilih cara efisien dan murah. Juga menolak membeli Tamiflu yang mahal. Buktinya, saat ini flu burung mereda, Tamiflunya justru tidak terpakai.” 
Sementara soal apel, larangan masuk dia putuskan bukan karena apel itu berasal dari AS. Namun, kala itu, ada hama yang didapati menempel di apel tersebut. “Saya justru yang menyelesaikan masalah apel AS yang terkendala penyakit. Yang menguntungkan AS justru tak disebut.” 
Bagaimana dengan tudingan korupsi? “Ngaco banget,” tukas Anton. Dia menambahkan, impor beras dilakukan oleh Bulog tanpa campur tangan Kementerian Pertanian. Sementara soal Jusuf Kalla, kata Anton, selama berkomunikasi dengannya, tak pernah satu kecap pun, Kalla bicara bisnis. 
Demikian pula tudingan mendapat dana dari Monsanto. “Sumbernya ngaco, malu AS punya infomasi yang tidak jelas.” 
Anton membantah penilaian laporan itu yang mengesankan dia anti AS. “Saya bukan anti siapa-siapa. Saya anti ketidakadilan, ketidakbenaran, kezaliman.” (eh/VN) 
– Dikirim via BlackBerry. 
Redaktur: Hendra 
Sumber: