Sabtu, 06 September 2014

Koalisi Jokowi Kembali Gigit Jari


Pergerakan parlemen dalam pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah menghasilkan sebuah opsi menarik. Pilkada melalui mekanisme DPRD.
Mekanisme ini beresiko, rakyat tak lagi memilih pemimpinnya melalui pemilihan langsung. Wakil mereka di DPRD lah yang akan melakukannya.
Pilihan politik ini semakin menunjukkan koalisi Jokowi-JK di parlemen tak punya suara. Habis dihajar Koalisi Merah Putih. Hanya bisa gigit jari.
Dalam berbagai momentum politik di parlemen, koalisi Jokowi tak bisa banyak bersuara.
Sebut saja soal pimpinan Panitia Khusus Tata Tertib DPR RI yang disapu bersih oleh Koalisi Merah Putih (KMP), partai pendukung Prabowo-Hatta dalam Pemilu Presiden 2014 lalu.
Terkait mekansime pemilihan kepala daerah melalui DPRD, fraksi yang tergabung dalam KMP kompak mendukung usulan ini seperti Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Fraksi Partai Gerindra.
Sebaliknya, koalisi Jokowi-JK mendorong Pilkada tetap dilakukan secara langsung.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu mengatakan, pilihan politik Partai Demokrat agar Pilkada dilakukan melalui pemilihan di DPRD didasarkan karena mekanisme tersebut tidak mengurangi esensi demokrasi.
Umam merujuk Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 disebutkan kepala daerah, gubernur, bupati dan walikota hanya disebutkan dipilih secara demokratis.
"Dengan begitu, baik langsung atau tidak langsung merupakan persoalan teknis yang sama sekali tidak mengurangi makna dari demokratis itu sendiri," kata Umam di Jakarta, Jumat, 5 September 2014.
Dampak dari pilkada langsung, disebut Umam menyebut soal dampak pilkada memberi dampak negatif. Umam menyebut ketegangan sosial, kerusuhan sosial dan sengketa yang selalu berujung di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Hampir semua Pilkada langsung melahirkan ketegangan dan kerawanan baik sosial maupun politik," tambah Umam.
Umam juga menyebutkan praktik politik uang dalam pilkada langsung kenyataannya lebih memberi mudharat ketimbang manfaat bagi publik
"Dari segi biaya pun, Pilkada langsung butuh dana besar," tambah Umam.
Politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo pun mengeluarkan pernyataan serupa. Bambang menilai, kajian Partai Golkar menunjukkan mekanisme pilkada secara langsung justru memberi dampak negatif ketimbang positifnya bagi rakyat dan kehidupan politik berbangsa dan bernegara.
"Sudah banyak pilkada memakan korban anak bangsa. Pertikaian antar pendukung, ras dan suku selalu mewarnai setiap pilkada," kata Bambang.
Namun bila pilkada dilakukan melalui DPRD, Bambang menyebutkan kepala daerah dapat berkonsentrasi bekerja selama lima tahun masa jabatan. Kondisi ini lantaran kepala daerah hasil pilkada langsung di tahun ketiga telah berpikir untuk maju kembali.
"Good government tak pernah bisa tercapai karena di tiap Pilkada para pejabat/PNS akan terbelah menjadi Tim Sukses masing-masing kandidat. Baik incumbent maupun penantang baru," sebut Bambang.
Sementara Sekjen DPP PPP M Romahurmuziy mengatakan, partainya bahkan telah menyatakan sikap politik partainya terkait moratorium pilkada langsung.
Romi menegaskan, sikap politik itu telah muncul dalam rekomendasi Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II PPP di Medan awal 2012 lalu.
Beberapa alasan moratorium Pilkada dikarenakan biaya politik yang mahal, 292 kepala daerah tersangkut kasus hukum, rawan nepotisme, rawan politik uang serta rawan politik balas budi.
"Karenanya usulan pilkada tak langsung bukanlah hal baru, apalagi bukan karena koalisi merah putih," tepis Romi. (fs)
Sumber :