Jakarta (06/09) — Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa memaparkan catatan kritis saat menanggapi RKA/KL RAPBN 2025 dari Kemendikbudristek dalam rapat Kerja Komisi X dengan Mendikbudristek RI di Kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, pada Jumat (05/09).
Tak cukup soal akses, aleg dari Dapil Jawa Barat I itu juga meminta pemerintah perlu memastikan sistem penjaminan mutu pendidikan guna menciptakan generasi muda yang berkualitas dan terjamin masa depannya.
Sementara terkait anggaran pendidikan, Ledia merasa anggaran fungsi pendidikan Indonesia justru belum berpihak pada pemenuhan kualitas pendidikan dasar dan menengah.
“Seharusnya fokus pada pemenuhan standar dan kualitas pendidikan dasar dan menengah, aksesibilitas pada pendidikan tinggi berkualitas, serta pengelolaan anggaran pendidikan di kementerian yang menjadi tupoksinya.
Sayangnya saat ini anggaran pendidikan justru tersebar di Kementerian dan Lembaga yang bukan menjadi tupoksinya hingga akhirnya menggerus hal-hal yang sesungguhnya dibutuhkan dalam fungsi pendidikan,” ujarnya.
Selain itu, menurut Ledia, pemerintah juga perlu mendorong keterlibatan tiga pilar pendidikan secara sinergis, yaitu sekolah, orang tua, dan juga lingkungan. Terutama karena sebagian dari kegagalan pembiayaan pendidikan disebabkan karena orang tua tidak menjadikan pendidikan sebagai prioritas.
“Pengasuhan atau parenting ini menjadi bagian yang sangat penting. Kesadaran bahwa pendidikan itu tanggungjawab pertamanya berada di pundak orangtua bukan sekolah harus terus menerus kita kuatkan.
Contohnya, banyak ditemukan kegagalan pembiayan pendidikan kita karena sebagian orangtua tidak memahami bahwa uang yang diterima dalam bantuan pendidikan itu adalah untuk pendidikan bukan yang lain,” tutur Ledia.
Di sisi lain, Ledia mengapresiasi bantuan pendidikan dan beasiswa yang ada yang menurutnya sudah tertata lebih baik dan tepat sasaran, namun masih harus terus diperbaiki. Bantuan pendidikan ini menurut Ledia ke depannya harus bisa diberikan bukan hanya bagi yang tidak mampu tetapi juga bagi yang berprestasi. Begitu pula untuk pembiayaan pendidikan tinggi regulasinya harus disesuaikan dengan variasi kebutuhan.
“Satu contoh, hal apa saja yang boleh dilakukan dengan menggunakan UKT dari KIP Kuliah tentu berbeda pada jenis bidang pendidikan. Pendidikan tinggi pada bidang sosial humaniora dengan pendidikan sains, kesehatan dan teknologi pasti alokasi anggarannya akan berbeda, karena kebutuhannya juga berbeda.
Maka regulasi bantuan pendidikannya pun harus dibuat sesuai dengan variasi kebutuhan dan mempertimbangkan pula tingkat kemahalan hidup di setiap wilayah, keterbatasan sarana prasarana dan apa kebutuhan terkait praktek, praktikum dan sejenisnya,” kata Sekretaris Fraksi PKS DPR RI itu.
Terkait perbaikan sistem karir pendidik dan tenaga kependidikan, menurut Ledia masih ada ketimpangan. Bagi para tenaga pendidik sudah mulai terperhatikan dengan adanya PPG dalam jabatan, PPG luar jabatan, pengangkatan P3K dan lain-lain.
Sayangnya untuk tenaga kependidikan belum diperhatikan dengan baik. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan secara terintegrasi, dimulai dari Pemerintah perlu melakukan pendataan berapa jumlah keperluan tenaga kependidikan, bagaimana pemeratannya sehingga kemudian bisa diimplementasi penyelesaiannya dengan baik.
Terakhir, Ledia menyinggung persoalan regulasi terkait perbaikan, pembangunan, penambahan sarana fisik pada satuan pendidikan yang selama 5 tahun terakhir di luar kendali Komisi X DPR RI. Banyaknya ruang kelas atau fasilitas pembelajaran yang rusak menyebabkan daya tampung sekolah juga ikut menurun, sehingga aksesibilitas pendidikan semakin terbatas.
Ledia menjelaskan betapa Komisi X DPR RI periode 2014-2019 yang lalu sudah memberikan rekomendasi tentang adanya 1,3 juta ruang kelas rusak namun tidak bisa ditindaklanjuti karena regulasinya berada di Kementerian PUPR yang sayangnya tidak sejalan dengan kebutuhan pendidikan dan kebutuhan satuan pendidikan di Indonesia.
Akibatnya tidak ada ruang kelas baru bertambah, tidak ada perbaikan dan menyebabkan ada banyak sekolah yang daya tampungnya menurun.
“Jadi kita perlu memberi masukan kepada pemerintah yang akan datang bahwa regulasi ini semestinya tidak dilepas dari Kementerian yang mengelola fungsi pendidikan.” pungkas Ledia.
Sumber :