Selasa, 17 September 2019

Karhutla Indikasi Gagalnya Restorasi Lahan Gambut


Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin menilai kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Kalimantan dan Riau belakangan ini merupakan indikasi gagalnya pemerintah terutama Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam merestorasi lahan gambut.
“Memadamkan lahan gambut itu paling sulit karena dia bisa mencapai tiga meter ke bawah.
Hal ini sekaligus menjadi indikasi kita gagal merestorasi lahan gambut kita.
Bukannya bermanfaat, malah menjadi bencana,” ujar Akmal usai menjadi narasumber pada acara forum legislasi yang mengangkat tema ‘Karhutla Kian Luas, Apa Kabar Revisi UU PPLH?’ di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Dilanjutkan Akmal, tidak berlebihan jika kemudian pihaknya mempertanyakan efektifitas dari BRG. Padahal dalam tiga tahun terakhir ini Komisi IV telah menyetujui sejumlah anggaran bagi BRG, namun target restorasi gambut sebanyak dua juta hektar tidak tercapai. 

Besar harapan agar BRG bisa merestorasi seluruh lahan gambut, mengingat lahan gambut rentan terhadap kebakaran.
“Kami mempertanyakan efektivitas BRG yang tidak bisa mencapai target restorasi dua juta hektar lahan gambut. Dalam beberapa rapat di Komisi IV, BRG yang notabene merupakan mitra kerja, kami sempat diungkapkan alasanya.
Tak lain adalah masa internal, seperti urusan kepegawaian yang belum selesai, dan anggaran yang masih menempel di Kementerian LHK,” paparnya
Legislator dapil Sulawesi Selatan II ini berharap, masalah tersebut dapat segera diatasi agar BRG bisa merestorasi lahan gambut. Padahal sudah banyak langkah preventif yang seharusnya dilakukan dalam tiga tahun terakhir, sehingga dapat meminimalisir terjadinya kebakaran.

Pada kesempatan itu Politisi Fraksi PKS ini juga mengungkapkan informasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebanyak 90 persen kebakaran hutan dan lahan itu sejatinya dibakar atau sengaja dibakar. Hal ini tentu menuntut tindakan yang tegas dari aparat penegak hukum.

Meskipun di Kementerian LHK memiliki aparat penegakan hukum bagi pelanggar atau perusak lingkungan hidup, namun harus di-back up oleh pihak kepolisian untuk menindak tegas perusak lingkungan hidup, proses ke meja hijau, sehingga diberikan sanksi yang tegas. 

“Intinya perusahaan apapun yang melanggar atau merusak lingkungan hidup, harus ditindak tegas dan dibawa ke meja hijau. Hal itu semata untuk memberikan efek jera bagi si pelanggar,” pungkasnya. (ayu/es)

Sumber :