Selasa, 24 Oktober 2023

CAWE-CAWE ALA FEODALISME


Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Demikian komentar mayoritas warga di sosial media merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. 

Sebagaimana kabar berita, MK mengabulkan permohonan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) yang menggugat usia minimal Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) di Undang-Undang (UU) 7/2017 tentang Pemilu. 

Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama berpengalaman jadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu). 

“Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan ‘berusia paling rendah 40 tahun’ bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu, termasuk pemilihan Kepala Daerah,” ujar hakim MK Anwar Usman. 

Putusan yang bikin heboh. Apalagi sempat hangat isu anak presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming yang menjabat Walikota Solo digadang-gadangkan jadi Cawapres. Putusan MK membuka jalan Gibran yang berusia 36 tahun. Di persidangan terkuak, penggugat UU Pemilu mengaku fans Gibran.

Banyak elemen mengkritik ketaranya upaya politisasi lembaga MK. Makin mencolok, salah satu hakim MK punya hubungan istimewa dengan Jokowi. Sorotan tentunya ke Ketua MK Anwar Usman. Sampai-sampai publik mempelesetkan MK = Mahkamah Keluarga. 

Mengutip media massa, semula Anwar memilih tak ikut Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Alasan demi menghindari konflik kepentingan mengingat dirinya paman Gibran. MK sebelumnya menolak permohonan menurunkan batas usia Capres-Cawapres. 

Lantas seketika berubah setelah Anwar ikut RPH. Bahkan hakim Konstitusi Saldi Isra mengaku bingung. “Berkaitan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini,” kata Saldi Isra (16/10/2023). 

Beliau mengaku pertama kali alami peristiwa aneh luar biasa sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi. Aneh, asbab MK bisa sekelebat berubah pendirian dan sikap. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD ikut berkomentar. 

Beliau mengatakan MK tak berwenang merubah aturan syarat batas usia Capres dan Cawapres. Menurut Mahfud, urusan tadi open legal policy yang ditentukan oleh positive legislator yakni DPR dan pemerintah.” 

MK itu kerjanya negative legislator, artinya hanya membatalkan kalau sesuatu bertentangan dengan kehendak dasar. MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi,” jelas Mahfud.

Preseden Buruk

Kami selaku anggota legislatif yang di saat bersamaan diamanahkan di Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) menganggap peristiwa di atas preseden terburuk paska reformasi. Ada beberapa catatan. 

Pertama, indikasi pemanfaatan hukum untuk kepentingan pribadi dan golongan. Kejadian bukan sekali dua kali. Kasus serupa ketika Presiden Jokowi meneken Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia (UI). 

Kala itu yang diubah ialah ketentuan ihwal rangkap jabatan Rektor di BUMN. Di aturan terdahulu yaitu PP 68/2013 disebutkan Rektor dan Wakil Rektor dilarang rangkap pejabat di instansi Pemerintah lain termasuk BUMN. 

Waktu itu rektor UI Ari Kuncoro dikritik lantaran menjabat komisaris utama independen di BRI. Ombudsman RI mengatakan rangkap jabatan merupakan tindakan maladministrasi sebab melanggar statuta UI. 

Kedua, semakin tidak jelasnya orientasi dan arah hukum negeri ini. Tak tahu lagi mana prioritas. Sungguh miris menyaksikan marwah lembaga sekelas MK dinistakan oknum demi tahta dan kuasa. Di saat banyak persoalan genting kepentingan bangsa menanti sentuhan MK, malah urus yang bukan kewenangan. 

Bisa dilihat ke belakang, upaya uji formil berbagai regulasi yang bermasalah berujung dimentahkan. Contoh gugatan Perppu Cipta Kerja yang dilayangkan serikat buruh dan elemen masyarakat, justru ditolak MK.

Tak hanya itu, tak kalah penting diangkat mengenai buah perjuangan reformasi yakni desentralisasi. Seperti diketahui, berdasarkan UU 3/2020 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambilalih semua perizinan pertambangan dari Pemda sejak tahun 2020. 

Kami pihak penyelenggara pemerintahan daerah menilai perubahan aturan merugikan daerah penghasil yang memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA). Termasuk Riau. Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) sewaktu Rakernas 2022 yang digelar di Bali juga telah menyampaikan aspirasi. 

Gubernur se Indonesia yang hadir menyepakati poin yang meminta Pusat melalui Kementerian ESDM supaya mengembalikan kewenangan ke daerah. Kesepakatan barusan tertuang dalam sidang pleno keempat yang dipimpin oleh Gubernur Kaltim, Isran Noor. UU 3/2020 pernah diajukan ke MK. Di tahun 2022 sejumlah elemen memohon uji materi. 

Namun MK menolak tiga dari empat materi permohonan pokok. Padahal bernilai substantif. Para pemohon mendalilkan bahwa penarikan kewenangan dari Pemda ke Pusat membuat akses partisipasi dan layanan publik seputar pertambangan menjauh. Sebuah langkah mundur penerapan Otonomi Daerah (Otoda).

Sejatinya Otoda berupaya mendekatkan pelayanan Pemerintah ke masyarakat dan memperpendek jarak rentang kendali antara pusat dan daerah. Hilangnya kewenangan Pemda dalam penguasaan Minerba mengakibatkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan. 

Masyarakat pastinya kesulitan memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, karena harus ke pusat pemerintahan atau ibukota negara yang jauh dari tempat tinggal mereka. Terakhir, dampaknya ke pengawasan. 

Pemda dianggap seumpama “pemadam kebakaran” yang diperlukan apabila muncul masalah. Khawatirnya Pemda menutup mata jika terjadi persoalan di daerahnya. Misal manakala bencana dampak aktivitas pertambangan, 

Pemda bisa saja ngeles, “urusan itu tanggungjawab Pusat, bukan kami.” Akibatnya penanganan terlambat karena perkara koordinasi pusat ke daerah. 

Berangkat dari pemaparan dapat disimpulkan betapa sangat disayangkan lembaga bertujuan mulia seperti MK dipakai guna memuluskan kepentingan segelintir elit dan golongan. Sementara problem bangsa butuh perhatian bejibun jumlahnya. 

Bagi kami lembaga legislatif sebuah kegalauan. Mau dibawa kemana bangsa ini jika hukum disetir demi memuaskan hasrat rendahan. Kalau sudah begini cukup Tuhan sebaik-baiknya tempat mengadu.

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.

ANGGOTA BAPEMBERDA DPRD PROVINSI RIAU

Sumber :