Sabtu, 17 Oktober 2020

Legislator PKS Ingatkan Pemerintah Soal Bahaya Liberalisasi Industri Pertahanan


Jakarta (16/10) — Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengingatkan Pemerintah agar berhati-hati terhadap bahaya liberalisasi dalam pengelolaan dan penyertaan modal asing pada industri alat utama sistem pertahanan keamanan sebagaimana diatur dalam ketentuan RUU Cipta Kerja, yang baru disahkan.

“ Ketentuan dalam RUU Cipta Kerja terkait penyertaan modal asing di sektor pertahanan sangat rentan dah terbuka bagi liberalisasi industri pertahanan. Merujuk pada pasal dalam RUU Cipta Kerja dari dokumen final 812 halaman,“ Tegas Mulyanto

Dalam UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal diatur ketentuan mengenai bidang atau jenis usaha yang tertutup bagi penanaman modal pada Pasal 12 ayat 2) hurup a, bahwa: Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal meliputi: a. produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang.

Sementara dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 12 ayat 2) hurup e diatur ketentuan bahwa: Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal meliputi: e. industri pembuatan senjata kimia.

Selain itu, dalam UU No. 16/2012 tentang Industri Pertahanan, Pasal 52 disebutkan, (1) Kepemilikan modal atas industri alat utama seluruhnya dimiliki oleh negara. (2) Kepemilikan modal atas industri komponen utama dan/atau penunjang, industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan) dan industri bahan baku yang merupakan badan usaha milik negara, paling rendah 51% (lima puluh satu persen) modalnya dimiliki oleh negara.

Sementara dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 52 ayat (1) disebutkan kepemilikan modal atas industri alat utama dimiliki oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan. Sedang terkait dengan pasal kepemilikan Negara sebesar minimal 51% dihapus.

Mulyanto memaparkan ketentuan dalam RUU Cipta Kerja terkait dengan industri pertahanan ini sangat longgar dan berpotensi bagi terjadinya liberalisasi industri pertahanan.

“Dari segi bidang usaha saja sudah terlihat aroma liberalisasi tersebut, karena bidang usaha yang tertutup dalam RUU Cipta Kerja hanya dibatasi pada industri pembuatan senjata kimia. Sementara produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang menjadi terbuka bagi penanaman modal asing, belum lagi dari aspek kepemilikan modal,“ Ucapnya

Mulyanto menambahkan Karena disebutkan kepemilikan modal atas industri alat utama dimiliki oleh BUMN dan/atau badan usaha milik swasta, berarti termasuk swasta asing.

“Karena frasanya adalah “dan/atau”, maka ketentuan ini bisa difahami juga sebagai: kepemilikan modal atas industri alat utama adalah BUMN “atau” badan usaha milik swasta. Artinya badah usaha milik swasta atau asing dapat memiliki modal seratus prosen atas industri alat utama ini,” jelasnya.

Pemahaman ini menjadi semakin kuat, manakala pasal kepemilikan BUMN yang minimal sebesar 51% dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

“PKS menolak liberalisasi industri pertahanan tersebut, apalagi sampai dikuasasi oleh modal asing. Karena ini terkait dengan kepentingan nasional (national interest) dan kedaulatan bangsa. Industri hankam ini wilayah high tech yang sensitif, yang harus dikuasai SDM patriot negeri yang andal. Kita justru harus menguasai industri ini, bukan malah menyerahkan kepada pihak asing. 

Saya minta pemerintah perlu berhati-hati dalam pengelolaan dan penyertaan modal asing pada industri alat utama sistem pertahanan ini, agar kepentingan nasional tetap mendapat prioritas, termasuk aspek alih teknologi dan pembinaan SDM industri strategis nasional,“ papar Mulyanto.

Mulyanto mengatakan Pemerintah harus punya komitmen kuat dalam menjaga sekaligus mengembangkan industri strategis ini.

“Kalau perlu kita beli kembali aset nasional strategis yang telah dijual ke pihak asing, seperti Indosat misalnya, bukan malah membuka industri pertahanan ini kepada pihak asing,“ tegasnya.

Diharapkan, lanjut Mulyanto, Pemerintah mampu melindungi keberadaan industri strategis nasional.

“Jangan sampai industri strategis ini justru dikuasai swasta asing. Karena dalam jangka panjang dikhawatirkan akan berdampak pada pertahanan, keamanan dan kedaulatan bangsa,” tutup Mulyanto.

Sumber :