Kamis, 22 April 2021

Kartini: Antara Peran Kegelisahan dan Modalitas Berpikir Perempuan

Siti Muntamah,S.AP


Dari jahiliyah menuju khairu ummah. Demikian kira-kira gambaran konteks di mana Rasulullah Muhammad Saw. diinformasikan Allah Swt. untuk mengubah kondisi kebodohan menuju kemuliaan, melalui wahyu pertama, yaitu surah al-‘Alaq ayat 1-5. 

Dalam perjalanan mengubah kejahiliyahan tersebut, betapa tak sederhana rintangan yang haryus ditembus. Dan bukan hal pragmatis untuk sekelas manusia istimewa -Rasulullah Muhammad Saw-, mendidik masyarakat hingga 23 tahun lamanya. 

Proses pendidikan yang tak sebentar. Bahkan tantangan dalam bentuk penolakan (skeptisme) dan perlawanan, masih saja menderas hingga beliau berada di ujung hayat.

Pun secara fenomenal, di dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini mengais kegelisahan dalam mencerna fenomena praktik-praktik feodalisme yang hidup di zamannya di mana hal demikian berpengaruh terhadap terbatasnya hak perempuan untuk berpikir maju.

Buku yang awalnya merupakan kumpulan surat-surat R.A. Kartini kepada sahabat-sahabat Eropa lalu dituangkan oleh Mr. J.H. Abendanon dengan judul aslinya adalah “Door Duisternis tot licht”. Buku kumpulan surat itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armijn Pane “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Salah satu highlight yang bisa diambil dari buku tersebut adalah bagaimana perempuan memiliki modalitas berpikir. Dan modalitas itu diperoleh melalui kancah pendidikan. 

Kegelisahan Kartini terkait denyut pendidikan perempuan pun cukup terkorelasi dengan apa yang ditegaskan oleh Witherington (1952) menjelaskan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.

Artinya, dengan hak yang dimilikinya untuk meraih pendidikan dan memuliakan implikasinya pada ragam bidang kehidupan, perempuan tengah mempersiapkan kehidupan yang lebih global dan universal. Artinya lagi, ketika perempuan mampu menempuh kulitas priobadi, maka akan menjadi dongkrak kualitas bagi keluarga terkecilnya, untuk lingkungan sekitarnya dan untuk masyarakat luas. 

Hal ini selaras dengan sebuah definisi bahwa perempuan (Ibu) adalah pendidik bangsa, sebagaimana dinyatakan oleh Hafedz Ibrahim: “ Ibu adalah sekolah bila kau persiapkan. Engkau telah mempersiapkan rakyat yang baik lagi kuat” (Nurfuadi, 2012:171).

Secara berulang, dikatakan, disitasi, dijadikan pijakan, bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia, kalaulah kita tafakuri kedalamannya, hakikatnya adalah sebuah pekerjaan yang sangat tak mudah. Bahkan tak cukup hanya sampai pada level jargonis alias level retorika alias "omong doang".

Demikianlah mandat pada jiwa dan raga seorang perempuan, sebagai madrasah pertama bagi keluarganya. Dan perempuan hari ini, di abad 21 ini, dengan segala variabel kebaruan, dengan segala pernik tuntutan, andaikan tak bersama modalitas berpikir dan kompetensi, maka kita lemah tak berdaya digerus gagasan dari sisi kanan kiri depan belakang.

Mengemban mandat pendidikan, lagi-lagi bukanlah soal pragmatis. Bukan perkara mudah. Mengokohkan diri sebagai teladan peradaban, secara bersamaan mengkohkan keluarga dan masyarakat dengan inovasi-inovasi yang berhakikat. 

Namun hal demikian sejatinya menjadi landasan pacu bagi para perempuan untuk terus berpikir maju dan berpikir antisipatif agar keselamatan iman generasi tetap berada dalam genggaman.

Sangat wajar pula, bagaimana sekelas Nabi Nuh mendidik masyarakatnya, mengingatkan secara berulang untuk menuju ke jalan selamat. Lalu fenomena berkata lain. Kaum Sodom tak mau mendengar hingga bencana meluluhlantakkan habitatnya. 

Dan warisan penolakan itu menjelma juga di hari ini, meski dengan istilah LGBT yang -barangkali- seolah lebih halus, sehalus penggunaan istilah Pekerja Seks Komersil untuk membiaskan jalangnya istilah yang lebih verbal.

Pendidikan. Sebuah proses tanpa batas dalam mengabadikan kebaikan. Hingga wajar adanya ketika kemudian muncul istilah pendidilan sepanjang hayat. Bahkan konon, pendidikan sepanjang hayat saja tak cukup untuk dapat memenuhi amanah Undang-undang tentang tujuan pendidikan nasional, yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya.

Kealamiaahn seorang manusia untuk senantiasa berpikir memang merupakan sesuatu yang lumrah dan sangat fitrah. Sehingga wajar bila berpikir menjadi sebuah patokan dalam berkehidupan. Artinya, kualitas kehidupan seseorang dipasok dan ditentukan oleh cara berpikirnya dalam beragam hal. 

Salah satunya adalah dalam menyelesaikan persoalan atau dalam menghadapi masalah. Bahkan dengan sengaja, seseorang melakukan perenungan agar dapat memiliki pemikiran yang berkualitas sehingga mampu menciptakan penemuan atau hal baru dalam kehidupannya.

Mari menjadi Kartini peradaban, dengan menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Sumber :