Jumat, 18 September 2015

Suksesi Kepemimpinan di PKS, Implementasi Nilai-nilai Demokrasi Pancasila


Masih ingat kita bunyi dari sila keempat Pancasila? 'Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan' itulah bunyinya. 
Salah satu dasar dari lima pondasi yang membangun bangsa dan negara ini. Pancasila juga disebut sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), satu di antara banyak partai di Indonesia yang sejak didirikannya memilih Islam sebagai ideologi partainya. Itu artinya setiap nafas pergerakan partai ini adalah Islam. Maka wajar jika PKS menisbatkan diri sebagai partai dakwah.
Namun, ada yang unik dari partai Islam ini. Walaupun tidak menjadikan Pancasila sebagai ideologi partai, tapi partai ini -entah disadari atau tidak- telah menjalankan nilai-nilai Pancasila secara benar, terutama pada sila keempat. 
Penulis fokus membahas sila ini karena berkaitan dengan situasi dan kondisi kekinian demokrasi di Indonesia.
Kembali pada 'keunikan' PKS. Sebagaimana telah disebutkan diawal tadi, bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi ala barat yang notabene ada demokrasi liberal. 
Suara terbanyak adalah pemegang kekuasaan dan pemilik kemenangan. Hal itu juga telah diterapkan oleh partai-partai lain di Indonesia sehingga merusak satu pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagaimama demokrasi Pancasila itu? Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang ruhnya adalah kebijaksanaan bukan pemaksaan, demokrasi yang prakteknya adalah musyawarah mufakat melalui perwakilan bukan suara terbanyak.
Begitu banyaknya gontok-gontokan antara para elit partai politik membuktikan adanya pemaksaan pada pengambilan keputusan di partai tersebut. Ada juga pimpinan partai yang tidak pernah berganti dari masa ke masa, dialah pendiri, dialah ketua, atau dialah ketua dewan pembina. 
Ini juga membuktikan demokrasi dan kaderisasi tak berjalan di partai tersebut. Maka sangat wajar, pada tataran bernegara, ada mantan kepala negara atau pimpinan lembaga negara merasa masih memiliki kekuasaan, jadilah ia mengidap post power syndrome.
Berbeda dengan PKS, pergantian kepemimpinan tak perlu gaduh. Tah, sudah ada Majelis Syuro yang bertugas mengambil keputusan strategis. Bukannya tidak alot tanpa rintangan, tetap ada. Tapi resikonya tidak terlalu besar dan tidak ada yang dikorbankan. 
Misalkan dalam pemilihan Ketua Majelis Syuro. Majelis Syuro menetapkan tiga calon, KH Hilmi Aminudin, DR Hidayat Nur Wahid dan DR Salim Segaf Al Jufri. Alot untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketuanya, alot karena semuanya menolak. Hingga akhirnya mereka bertigalah yang diminta bermusyawarah untuk menetukan sendiri siapa yang akan menjadi pimpinan. 
Dengan legowo, KH Hilmi Aminudin menyerahkan 'jabatan'nya kepada dua 'junior'nya dan terpilihlah DR Salim Segaf Al Jufri sebagai Ketua MS dan DR Hidayat Nur Wahid sebagai Wakilnya.
Bagaimana dengan tataran pelaksananya (pengurus harian). Saya masih ingat dengan perkataan Anis Matta ketika semasa menjadi Presiden PKS, "Ada panglima yang cocok saat perang dan ada panglima yang cocok saat damai." Saya melihat ungkapan ini adalah ungkapan seorang kader sejati yang menempatkan dirinya sebagai prajurit bukan pimpinan atau pemilik partai. 
Dengan suksesnya Anis Matta menghantarkan PKS keluar dari badai dengan ditandai tidak hancurnya PKS pada Pemilu 2014 sebagaimana banyak diprediksi oleh pengamat, maka tugasnya sebagai panglima saat perang telah usai.
Tak ada debat, tak ada saling ancam, tak ada saling lapor polisi dan tak ada Sidang Majelis Syuro tandingan apalagi Munas tandingan. Semua berjalan lancar walau sang Panglima saat perang telah digantikan, sebab komitmennya bukanlah pada jabatan tapi pada kontribusi. 
Dimanapun ditempatkan, sebagai seorang prajurit harus ikhlas dan siap. Seperti Khalid bin Walid, sang Panglima Besar yang sukses menyiutkan nyali Romawi dan memporak-porandakan Persia. 
Di saat karir militernya sedang di puncak, Khalifah Umar menggantinya dengan Abu Ubaidah bin Jarrah. Banyak tawaran dari 'tetangga' untuk memberontak pada Madinah. Tapi apa jawab Khalid? "Aku berjuang bukan karena Umar, tapi aku berjuang karena Allah". 
Pernyataan itu jelas menunjukan sikap ksatria Khalid yang makin memperkuat Islam dan menggentarkan musuh, walaupun hingga wafatnya ia tetap menjadi prajurit biasa.
Inilah pola dan tradisi demokrasi PKS, demokrasi tanpa rusuh, demokrasi tanpa gaduh, demokrasi Pancasila yang sebenarnya bukan demokrasi liberal ala Barat. Demokrasi Pancasila yang diilhami oleh ajaran Islam dari para pendiri bangsa ini.
I Love Indonesia...
Sumber :