Rabu, 28 Juni 2023

Spending Mandatory RUU Kesehatan Dihapus, Jaminan Kesehatan untuk Pekerja Dipertanyakan


Jakarta - Bidang Ketenagakerjaan (Bidnaker) DPP PKS menggelar Talkshow yang bertema "Dampak Omnibus Law Kesehatan, Buruh Dilarang Sakit?" pada Senin, (26/6/2023) di Aula Kantor DPTP PKS, Jakarta.

Talkshow ini digelar untuk mendiskusikan dampak RUU Kesehatan yang dinilai penuh polemik dari berbagai perspektif narasumber, antara lain Wakil Ketua Bidnaker Indra, Legislator PKS Netty Prasetiyani, Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Djoko Heriyono, praktisi kesehatan dr. Haznim Fadhli, serta dipandu oleh Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPR RI dapil II DKI Jakarta Bung Rusdi.

Ketua Umum SPN Djoko Heriyono menyebut RUU Kesehatan yang tidak menyantumkan secara langsung Mandatory Spending Kesehatan sangat mengkhawatirkan untuk kaum pekerja karena dinilai akan berpengaruh ke iuran jaminan kesehatan.

"Yang Mandatory Spending ada saja (pekerja) tidak kebagian, bagaimana kalau dihapus?" ungkap Djoko.

Menurut Djoko, RUU ini semakin menjauhkan dari terwujudnya gagasan besar SPN yaitu Jaminan Sosial Semesta Sepanjang Hayat yang menginginkan adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dari bayi hingga liang lahat.

Wakil Ketua Bidnaker Indra menyampaikan beberapa pandangannya terkait RUU Omnibus Law Kesehatan ini. Ia menyoroti terulangnya kesalahan pemerintah yang tidak melibatkan partisipasi publik dalam pembuatan peraturan seperti yang terjadi saat pembuatan Omnibus Law Cipta Kerja.

"Lucunya hal yang serupa ternyata diulangi," papar Indra.

Publik, sambung Indra, seharusnya dilibatkan sejak tahap penyusunan. Namun tahap ini kembali dilewati pemerintah yang menyebabkan ribuan tenaga kesehatan sebagai stakeholder RUU Kesehatan ini turun ke jalan untuk menyampaikan penolakannya.

"Seharusnya dari jauh-jauh hari pemerintah ajak ngobrol para ahlinya, para stakeholder terkait. Diajak ngobrol, diajak diskusi, diajak menyampaikan pemikiran cerdasnya. Mulai dari penyusunan," jelas Indra.

"Potensi dipermalukannya pemerintah dan DPR oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ini akan terulang," sambungnya merujuk pada Putusan MK yang menyatakan Omnibus Law Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tidak melibatkan partisipasi publik.

Ia juga mencermati adanya upaya dana publik yang diambil dari pekerja seluruh indonesia melalui iuran BPJS yang akan dikelola oleh kementerian terkait. Ia menyebut hal ini adalah bentuk kemunduran dan masalah bagi buruh Indonesia.

Indra juga menyatakan, di tengah meningkatnya kebutuhan pemeliharaan kesehatan dan berbagai ancaman potensi kerawanan penyakit, Mandatory Spending seharusnya ditingkatkan, bukan malah ditiadakan.

"Ketika anggaran kesehatan justru direduksi, ini menjadi catatan penting buat kita. Mau dibawa ke mana republik ini?" ujar Indra.

"Jadi lagi-lagi, kalaulah UU ini dimaknai sebagai bisnis kesehatan, kalau semangatnya mengabaikan hak kesehatan masyarakat yang seharusnya dijamin oleh negara, tentu ini akan mengancam buruh Indonesia," sambungnya.

Sumber :