Rabu, 28 Januari 2015

Raih Gelar Doktor Bidang Ilmu Pemerintahan, Netty Meraih Yudisium “Sangat Memuaskan”


Kebijakan Government to Government (G to G) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Korea Selatan terkait Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea Selatan berhasil meningkatkan kepercayaan terhadap kualitas TKI dan juga memberi perlindungan bagi TKI. 
Meski demikian, masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam mewujudkan TKI sebagai human capital yang memiliki daya saing di era pasar terbuka seperti sekarang ini.
Dilansir laman Unpad.ac.id, diungkapkan Netty Prasetiyani, Ketua Tim Penggerak PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) Provinsi Jawa Barat, saat mempertahankan disertasinya yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Government to Government Indonesia dengan Korea Selatan (Studi Kasus Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Korea Selatan” pada Sidang Terbuka Promosi Doktor Bidang Ilmu Pemerintahan di Gedung Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Kamis (29/01). Netty meraih yudisium “Sangat Memuaskan” untuk disertasinya itu.
“Melalui skema penempatan G to G ke Korea Selatan ada peningkatan permintaan penempatan TKI dari 6 ribuan (tahun 2012) menjadi hampir 10 ribuan (2013). Artinya persepsi Korea Selatan terhadap kualitas TKI tidak diragukan,” ujar Netty yang lulus studi S-1 dan S-2 dari Universitas Indonesia (UI).
Penempatan program G to G adalah penempatan TKI ke luar negeri oleh pemerintah yang hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah negara pengguna TKI atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan TKI. Dalam upaya melindungi TKI, program G to Gtidak mengizinkan pihak swasta untuk menempatkan TKI ke negara yang sudah melakukan kesepakatan.
Layanan penempatan program G to G Korea Selatan dilakukan oleh pemerintah atas dasar perjanjian kerja sama yang ditandatangani 13 Juli 2004, dan diperbaharui pada 2006 dan 2008. Pada 2007, Indonesia dan Korea Selatan menyepakati mekanisme Entry Permit System (EPS) dimana tenaga kerja asing hanya dapat bekerja di Korea Selatan setelah pemerintah negara asal membuat perjanjian bilateral dengan pemerintah negara tujuan.
Netty mengungkapkan, sejumlah responden penelitiannya mengakui adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan G to G. Perbedaan itu antara lain, biaya yang harus dikeluarkan dalam proses perijinan jadi lebih murah, tempat pelatihan jadi lebih nyaman, dan waktu keberangkatan juga lebih cepat. Konsistensi dalam implementasi Undang-undang Ketenagakerjaan dan kesepakatan programG to G menjadi kunci dalam perlindungan TKI.
“Manfaat dari program G to G ini tidak hanya sebatas prosedur penempatan TKI ke Korea Selatan, tetapi juga berimbas pada bidang lainnnya. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya frekuensi peningkatan jumlah kerja sama antara Indonesia dengan Korea Selatan dalam berbagai bidang,” ujar Netty yang merupakan istri Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan.
Beberapa catatan yang masih diperbaiki, menurut Netty, adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai perumus kebijakan perlu mempertimbangkan unsur sistem kontrak, jangka waktu kontrak kerja, dan penyesuaian toleransi budaya atau ideologi. Sementara BP2TKI sebagai pelaksana perlu membenahi sejumlah praktik penyimpangan yang masih ditemukan dalam tahap pelatihan bahasa Korea, tes, sending, dan pelatihan peserta. Dan upaya advokasi yang dilakukan KBRI hendaknya tidak sekadar penyambutan di bandara, namun juga pendampingan selama berada di Korea.(*)
Sumber :