Minggu, 05 Juni 2016

PKS Dorong Masyarakat dan DPR Uji Materi UU Pilkada


Fraksi Partai Keadilan Sejahtera masih tidak puas dengan keputusan pengesahan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah hasil revisi pada Kamis 2 Juni 2016. 
Oleh karena itu PKS mendorong jika ada pihak-pihak yang ingin hasil legislasi itu diuji materiil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
“Bagi anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan masyarakat yang tidak setuju dan merasa dirugikan, kami persilakan untuk melakukan judicial review ke MK,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Almuzzammil Yusuf di Jakarta pada Jumat 3 Juni 2016.

PKS dan Gerindra sebelumnya tidak sepakat dengan delapan fraksi lain terkait syarat anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus mundur jika maju dalam pilkada.
Dia mengatakan, alasan pemerintah yang mengharuskan mundur dengan alasan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 tak memiliki dasar kuat. Almuzzamil menilai, putusan MK tidak harus dikaitkan dengan kewenangan DPR dalam membuat dan merevisi UU.
“Menurut kami itu tidak adil. Seharusnya calon kepala daerah yang menjabat sebagai anggota Dewan cukup mengambil cuti dan mundur dari jabatan pimpinan atau alat kelengkapan Dewan. Jadi putusan MK itu hanya berlaku bagi PNS, TNI dan Polri yang berpotensi terganggu independensinya sebagai aparatur negara," katanya.
Paripurna DPR telah mengesahkan UU Pilkada hasil revisi. Meski sudah disahkan, sejumlah pihak menilai bahwa UU tersebut masih memiliki sejumlah kekurangan.
“Sejauh DPR menemukan dasar sosiologis, yuridis dan filosofis yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan maka norma dalam UU dapat diajukan untuk diperbaiki,” ujarnya.
Dia memaparkan, perubahan UU Pilkada ini sangat penting untuk mengurangi penyalahgunaan kewenangan sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi di daerah melalui proses pergantian kepemimpinan.
“Jika yang dikhawatirkan adalah penyalahgunaan kewenangan yang bisa mengganggu terselenggaranya pilkada yang luber dan jurdil maka kepala daerah incumbent jauh lebih berpotensi melakukan penyelewengan daripada anggota DPR, DPD, dan DPRD," kata dia.(VV)
Sumber :