Sabtu, 27 Agustus 2016

Guru yang Menegakkan Disiplin Tidak Bisa Dipidanakan


SORONG – Tindakan guru yang menegur atau menghukum muridnya dalam rangka penerapan disiplin selama masih dalam koridor pendidikan tidak bisa dipidanakan. 
Aparat penegak hukum hendaknya bijak dalam menyikapi pengaduan masyarakat yang berkait dengan relasi guru dan murid.
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengemukakan hal itu saat menjawab pertanyaan seorang peserta Sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang diselenggarakan MPR bekerjasama dengan Yayasan Al Izzah di Kota Sorong, Papua Barat, Kamis (25/8/2016). Pertanyaan ini sendiri diajukan terkait dengan sejumlah kasus kriminalisasi terhadap guru yang menghukum muridnya.
Menurut Hidayat, kalau tindakan sang guru sudah keterlaluan misalnnya sampai menganiaya, memukuli atau tindak kekerasan yang melewati batas, baru bisa diadukan ke pihak yang berwajib.
“Tapi kalau sekedar dicubit atau dihukum hanya karena ingin menegakkan disiplin lantas diadukan ke penegak hukum bagaimana nasib dunia pendidikan kita?” tanya Hidayat.
Hidayat mengemukakan, terkait dengan relasi guru dan murid ini, Mahkamah Agung RI pernah mengeluarkan keputusan yurisprudensi bahwa guru tidak bisa dipidanakan saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Keputusan MA tersebut dikeluarkan saat mengadili seorang guru dari Majalengka bernama Aop Saepudin tanggal 6 Mei 2014.
Kasusnya bermula ketika itu pada Mei 2012 Aop mendisiplinkan empat siswa berambut gondrong dengan mencukurnya. Salah seorang siswa tidak terima kemudian memukuli dan mencukur balik Aop.
Polisi dan jaksa kemudian melimpahkan kasus Aop ke pengadilan. Aop dikenakan pasal berlapis, yakni Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak, Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak, dan Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.
Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan oleh PN Majalengka dan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Tapi MA menganulir putusan itu dan menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop. Putusan yang diketok pada 6 Mei 2014 itu diadili oleh ketua majelis hakim Salman Luthan dengan anggota Syarifuddin dan Margono.
Ketiga hakim MA membebaskan Aop karena sebagai guru ia mempunyai tugas mendisiplinkan siswa. Apa yang dilakukan Aop adalah bagian dari tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana, karenanya terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatannya tersebut sebab bertujuan mendidik agar menjadi murid yang baik dan disiplin.
Perlindungan terhadap profesi guru sendiri juga diatur dalam PP Nomor 74 Tahun 2008. PP menyebutkan dalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, guru diberi kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru juga berwenang memberikan penghargaan dan hukuman kepada siswanya.
Pasal 39 ayat 1 PP No. 74/2008 menyebutkan: Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.
Dan di ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Sedang Pasal 40 menyebutkan, guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Hidayat berharap, para orang tua perlu bijak juga menanggapi laporan anaknya. Jangan sampai menanggapi dengan emosional.
“Semoga tidak ada lagi kasus penganiayaan atau kriminalisasi terhadap guru,” pungkas Hidayat. [pks.id]
Sumber :